Senin, November 28, 2011

Jama'ah, jama'ah...

            Tentunya risih dipandang orang, bila seorang mahasiswa jarang melakukan ritual mandi di kehidupan sehari-hari, entah pagi atau sore. Kenapa? Sudah barang tentu dahi berkerut timbul tanda tanya. Kok bisa, seorang yang sudah dicekoki cleanlines education selama kurang lebih 8 tahun di pendidikan formal TK, MI, MTs, MA dan kini menjadi mahasiswa yang mestinya sudah lebih paham dan mengerti perihal “jorok” itu, malahan melakukannya sendiri. Ini tentu memalukan untuk ukuran orang terpelajar.
            Namun beda bagi kalangan santri, –khususnya saya sendiri-- meski ia juga sama telah melahab pendidikan formal itu hingga sekarang menjadi mahasiswa, hal tersebut bisa menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah. Mengapa? karena pola kehidupan pesantren yang tak jarang bergelut dengan hal-hal “kotor”, membuat mereka ikut terbiasa berpolah “kotor”.
            Tetapi tidak! bila menilik prilaku yang ini. Amat tak etis dan bahkan risih memalukan untuk seorang mahasiswa TH jebolan pesantren, apalagi ia adalah anak pilihan, sering bertindak tak ikut serta dalam sholat jama'ah di Masjid. Malah cenderung menyepelekan, asyik dengan notebook, jedug-jedug mendengarkan musik, memlototi film,  bermain game, berkutit dengan handphone atau sekedar bermalas-malasan di atas kasur. Apakah pantas prilaku demikian dilakukan seorang yang berangkat dari pesantren menjadi mahasiswa TAFSIR-HADITS KHUSUS? Benarkah seperti ini ejawantah ilmu mereka? Dimana tanggungjawab mereka terhadap masyarakat?
            Ini tentu tak sinkron dengan ajaran al-Qur`an dan hadits yang telah dipelajari dari pesantren, tak selaras dengan al-Qur`an hadits yang menjadi konsentrasi studi utama mereka di perguruan tinggi. Minimal kita pernah mendengar sabda Rasul yang memperingatkan untuk senantiasa memakmurkan masjid. Sebagaimana hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi,
حدثنا محمد بن العلاء حدثنا حسين بن علي عن زائدة عن هشام بن عروة عن ابيه عن عائشة قالت أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم ببناء المساجد في الدور وان تنظف وتطيب
Menyorot kata تطيب , kita diminta untuk mengharumkan masjid, memakmurkannya, meramaikannya, dengan lantaran berjama’ah di dalamnya, membuat majlis ilmu dan sebagainya. Tapi bagaimana bisa  mengharumkan bila fungsi esensi masjid saja jarang dilaksanakan.
            Iya, bisa dimaklumi bila jarak antara masjid dengan domisili mereka dikatakan jauh. Tapi di sini, mereka tinggal di pondok yang tidak sampai hitungan semenit bisa sampai ke masjid dengan cukup melangkahkan kaki. Pastinya kita tahu bahwa ini tidak bisa dibenarkan untuk dijadikan alasan. Lantas bagaimana dengan ungkapan hadits yang kurang lebih, “Tidak sempurna sholat seseorang yang tinggal di sekitar masjid kecuali berjama’ah di masjid.”
            Sebagai pelajar Tafsir-Hadits sekaligus penerima beasiswa (atau tak usah menyebutkannya) dimana ia membawa misi dari pesantren, sekolah, orang tua, dan negara (lebih khususnya, Kemenag) mestinya berusaha bertanggungjawab atas harapan, –sekaligus tuntutan— yang ditaruh kepadanya, yakni ke depan bisa menjadi “pemuas” untuk menjawab kebutuhan masyarakat, menjadi penengah atas konflik masalah di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan modal akademiknya. Dan tentunya tidak berpolah sikap yang sekan-akan menjadi bibit mengkhawatirkan. Dalam hal ini, mereka patutnya membaur kepada masyarakat dengan berpartisipasi meramaikan masjid, lalu menjadikan sholat berjama’ah sebagai lantaran untuk menjalin hubungan baik dengan mereka. Sebab untuk sampai pada tujuan menjadi pemuas dan penengah, dibutuhkan sosialisasi diri dengan cara bergaul membaur dan berinteraksi kepada mereka, yang salah satunya di dalam masjid.

*Sebagai sindiran diri

0 comments:

Posting Komentar