BEHEL FASHION

Lihat yah ^^

OPAC UIN SUKA

Nyari buku di Perpus UINJOG

FACEBOOK

Tampang fb gua!

POETRY

Senja Di Pantai

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, Desember 19, 2012

Bukan Tak Mampu, Tapi Tak Mau

Kuliah, rumah, tugas, tanggungan: tidak banyak mikirin mereka, malah aku abaikan semua. Otakku terlanjur kena infeksi wanita. Belum, belum, belum. Bukan gila gandrung terhadap kekasih, tapi stres mikirin wanita idaman yang tak kunjung ketemu.

Cantik...
ah, tengok kanan kiri pun nampaknya sudah berlabel “berkepemilikan”. Rasanya mustahil perempuan cantik di era sekarang tidak dipunyai orang atau memiliki pasangan (atau bahasa mudanya: gebetan). Perhatikan saja sekelilig. Nah, mana ada kan...
Cantik muka memang menjadi bahan awal untuk menarik perhatian sehingga membuatku melirik (dan lebih lanjut menggaet) seorang wanita. Ia menjadi perihal utama. Namun berikutnya, membuatku belok dan balik ketika cantik muka tak sinkron dengan cantik polah tingkah, cantik pikiran, cantik tutur dan seterusnya. Aku membuang niat kalau begitu.

Hiyuh, imposible kata teman jika inginku demikian. Bahasaku, “elit” mengistilahkannya: minta perfect. Lebih-lebih tambahan kriteria yang harus “orisinil” pada sosok perempuan. Maksudnya, belum pernah disentuh. Maksudku, dia belum pernah dipunyai orang atau dipacari orang. “Biyuh, mana ada?” Tentu ada lah. Tapi menimbang pangkat yang nempel di sandangan bagian dada atau lengan, memangnya ada label orang ganteng? orang pinter, orang santun, orang apik, terlebih orang “beragama”? seluruhnya aja ngepres (pas-pasan sangat), mau ngimpi perempuan perfect, ya cuma banggok di angan-angan lah. Tak heran angan-angan itu terus berputar di kepala bersama kicau-kicau emprit yang mengusik dan mengganggu dari kegiatanku, perihal yang mestinya aku tatap dan sorot (kuliah misalnya), namun dialihkan oleh bayang semu (weish... yaelaaah).

Sampai detik ini (entah sedari kapan. lama rasanya), mungkin langkah keinginan ini terhenti karna tak kunjung juga memperoleh. Hihhe... (tertawa kecil) emang sih, tidak ada tindakan upaya untuk keinginan itu. Rasanya males banget untuk menyapa dan mencari mereka. “Aneh ya, kepengen kok usahanya males.” Entah... disamping juga kuatir kalau nantinya, usaha untuk itu, makin mendukung kelalaianku dalam melaksanakan tanggungan. (aku masih sangat peduli terhadap tanggungan saat ini, kendati banyak lalai).

Sebenarnya kalau mau yang bukan cantik, pastinya nengok samping juga ada. Tak perlu rempong-rempong mendelik ke sana ke sini. Ada beberapa kali yang mendekat. Tapi aku menggelengkan kepala, sebab tak memenuhi kriteria. “Ego-nyaaaaaa aku.” Sombong memang. Sok ngerasa ganteng, pinter, apik, lihai grapyak (ingat, cuma merasa!), sehingga aku minta yang sekufu. Tidak mau yang biasa-biasa (atau bahasa kasarnya: rendahan).

Kalau boleh mengutip keterangan CakNun dalam tulisannya kemaren (Direktur dan Sopir. 17/12/12. CakNun.com): ada dua orang, yang satu bertitel direktur, dan yang satu menjadi sopir. Jika ditukar posisi, apa direktur mau jadi sopir. “Gampang loh, bukan kerjaan susah.” Sebenarnya dia bisa dan mampu untuk menyetir manjadi sopir, tapi mungkin ia tak mau karena sudah barang tentu ia merasa pangkatnya tinggi, mumbul, sehingga dirasa tidak pantas atau merasa gengsi untuk “menjabat” posisi rendahan (sopir). Begitu juga diriku yang merasa mumbul sebab ngerasa cukup cakep, pinter dan apik, sehingga enggan dan tak mau (bukan tak mampu) untuk berjajar pasangan yang biasa-biasa saja (kasarnya: rendahan). Ada lah, perempuan-perempuan, tapi kita tak mau karena tak cantik. Bukan tak mampu, tak bisa, tak dapat menjalin hubungan indah dengan mereka, tapi tak mau yang bukan cantik.
Ini ego-ku.

Mungkin, kalau sampai aku jenuh dan putus asa karena nampaknya sudah tidak ada lagi, tak kunjung ketemu dengan sang idaman hingga memakan masa yang panjang, malahan keadaan bisa saja berbalik. Mungkin aku pasang pamflet “BAGI SIAPA SAJA YANG MAU... (terserah. Mari...)”, karena mungkin, sampai orang yang biasa-biasa pun sudah keburu mendapati pasangan, tidak ada lagi yang tersisa. Sehingga aku hanya gigit jari atau bahkan ngeweh melihatnya. Bukankah seperti itu, Mas Kang Kuro. Hihhe...
*Merasa senasib dengan Mas Kang @Kuro Dzikro :)

Kalau dipikir kenapa aku serempong ini. Hingga ribet harus ini, kudu yang itu, perlu yang seperti ini. Iyah, memang aku resah sejak... entah. Tampaknya sejak melihat teman-teman sudah bersejoli antara satu sama lain. Bukan hanya mereka, tapi sekelilingku. Rasanya sudah banyak yang saling punya. Tentu hal ini memaksaku iri. Lebih lanjut, cemburu dengan kemesraan mereka.
Aku juga ingin bercinta, kawan... seperti kalian.

Aku khawatir jika tidak memperoleh pasangan, nanti. Maksudnya, kalau tidak sesegera, akan kehabisan stok perempuan. Seorang perempuan, sebagaimana kriteriaku. Kalau tidak dicari sekarang, orang lain yang duluan. Dan tambah susah nantinya kalau nanti-nanti.
Aku juga ingin bercinta, kawan... seperti kalian. Tapi bukan untuk mencoba-coba, melainkan untuk selamanya...
**kalimatnya ribet: ini bahasa ocehanku

Selasa, Desember 04, 2012

TEKAD BERLEPAS BEBAS



Tak beda dengan kebanyakan anak muda, yakni galau menjadi sumbu cerita. Memang bukan galau oleh sebab gebetan atau cinta, melainkan galau karena bingung tentang rencana selepas MA. Lumrah lah dialami oleh anak sekolahan yang ada pada tingkat akhir Madrasah Aliyah. Mungkin iya, hanya oleh orang-orang “GeJe” (nggak jelas) yang mengalami. Artinya saya membenarkan jika saya juga termasuk orang yang nggak jelas itu. “Bingung mau ngapain nanti abis lulus?” kepusingan ini berangkat dari ketidaksiapan diri atas skill bagaimana melaku nanti. Rasanya modal yang ada belum mempunyai arti. Ilmu dan pengalaman sangat jauh dari cukup untuk berdiri menatap kehidupan. Kudu linglung, rasanya. Entah bagaimana.
Melihat keadaan tidak saling mendukung, atau tepatnya tidak mendukung dengan maksud diri sehingga menjadikan pikiran ruwet. Perihal nggak terdengar lagi perintah orang tua untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Bahkan yang biasanya beliau dalam beberapa kali kesempatan telah menawariku untuk sekolah di Timur Tengah, melanjutkan sekolah setingkat SMA di Madinah, sekarang tidak menggaung lagi. Mungkin karena aku yang tetap geleng-geleng menanggapi tawaran itu, perintah untuk melanjutkan sekolah urung digaungkan lagi. Terlebih mengingat kejadian yang memalukan saat  beliau diharuskan berhadap sowan ke Kyai Pengasuh untuk negosiasi polah bandelku yang melanggar aturan. Bukan biasa, namun peraturan yang tergolong “elit”.
Aku sendiri, sejak tragedi itu, tidak berani untuk bercuap-cuap ngomong (bahkan meminta) dengan mereka. Hal itu memang dilandasi rasa ewuh atas posisiku, di samping juga... (bukan di samping juga, tapi dan juga) karena polah dan hasilku yang cenderung memalukan, lantas aku semakin mengkerut bertatap dengan beliau. Ah, ini juga karena otakku yang kosong, enggan memikirkan sedari awal tentang kelanjutan laku yang kudu diprogramkan setelah lulus. Agak telat, sehingga memusingkan kepala.
Berbicara keinginan, sebenarnya aku belum mau berpindah status selain pelajar. Aku masih ingin nggambleh dengan kepelajaranku sebagaimana biasa di sekolah dan pondok. Main dan tidak disiplin saat kegiatan-kegiatan berlangsung. Tentu saja aku masih senang dengan kerianganku bersliweran dengan teman sesarung, sekasur, sekamar dan sepondok. Aku begitu asyik menciptakan hari-hari dengan tertawa dan cemberut bersama meraka. Pun begitu pula berserawung dengan guru-guru, terlebih kyai-ku (Semoga Allah merahmati beliau). Begitu syahdu ketika para santri menunduk hormat untuk memuliakan Sang Kyai. Semua langkah terhenti ketika terdengar seretan sandal beliau, seketika santri khusyuk menelangkupkan tangan di bawah dan membungkuk hormat sepanjang Sang Kyai melintas. Sebuah pemandangan menyejukkan yang lumrah ditemui di bawah atap pesantren salaf.
Aku masih ingin menikmati hal itu, tetapi hidup tak mungkin bisa berjalan di tempat. Ia terus melangkah menanjaki masa-masa berikutnya. Implikasinya, merupakan keharusan bagi setiap individu untuk merancang program yang akan dilaksanakan, baik jangka pendek ataupun jangka panjang. Ini perlu dilakukan supaya kehidupan personal bisa baik dijalankan, oleh sebab terorganisir atau tersistem. Dan tentu supaya tidak pusing seperti kondisiku saat ini. Kesadaran ini membuat raga beranjak menyusun rencana kerja, “Biar tidak terus larut dalam kepusingan.” Adalah mondok lagi dan kuliah. Mondok untuk meneruskan ke-gandrung-an-ku pada nuansa pesantren. Bukan cuma gojekan, namun juga nyaman menimba Ulum al-Din di sana. Nyaman atas menyimak pengajian Kyai, nyaman berdzikir bareng dengan kaum sarungan dan berpeci. Ini yang saya prioritaskan. Terkait kuliah, saya pikir (kala itu), ia hanya perlu sebagai tindakan bergaul dengan kehidupan luar saja.
Bukan saja terhenti pada keinginan untuk mondok dan kuliah, tetapi aku ingin bebas biaya dari orang tua, mengingat (sebagaimana hal yang sudah  saya katakan di atas) beliau tidak nampak lagi untuk menyokongku sekolah. Sebenarnya ada beberapa tawaran yang menyapa. Pertama, kuliah dengan ikut sumbangsih mengajar di Panti Asuhan (dengan biaya kuliah ditanggung). Kedua, kuliah ikut saudara-saudara di Sulawesi dengan biaya sambil jalan (maksudnya kuliah ditanggung saudara dulu, namun kemudian dilanjutkan dengan mencari kerja sendiri). Ah, yang terakhir sama sekali tidak minat. Aku tak kepingin beranjak dari bumi Jawa. Pandangan pendekku beranggapan bahwa di luar Jawa tertinggal maju daripada Jawa. Berbeda dengan tawaran pertama, agak bisa mengiyakan kalau kuliah sambil ikut berkontribusi mengamalkan ilmu (tentu didorong tanggungan biaya makan dan kuliah yang disediakan). Jadi aku bungkus saja tawarannya untuk nanti sebagai pertimbangan.
Di perempat akhir periode pembelajaran tahun 2010-2011 ialah masa dimana banyak sosialisasi perguruan tinggi di sekolah-sekolah. Tidak luput Madrasah Aliyah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS), Kudus, juga menjadi sasaran sosialisasi perguruan tinggi. Terlebih urusan beasiswa yang paling laku diminati para siswa, baik beasiswa perguruan tinggi lokal atau beasiswa di luar negari (khususnya Timur Tengah, karena basis sekolahku adalah madrasah yang tentu menjuru pada akademik studi Islam dimana Timur Tengah menjadi rujukan studi dalam sekolah tinggi). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga adalah satu-satunya perguruan tinggi yang aku minati. Bukan sebab kualitasnya yang unggul, tapi mensinkronkan keadaan dan kemumpunian diri terhadap universitas yang akan aku masuki. Pertama, jikalau aku masuk di universitas tersebut, biaya perkuliahan persemester dapat dijangkau (cukup murah dengan Rp. 600.000 persemester). Kedua, mata kuliah pun bisa aku ikuti sesuai background pendidikan sekolahku. Pastinya terkait Ulum al-Din, bukan pelajaran umum yang aku sendiri pusing jika diajarkan di madrasah dulu.
Serentet info-info Perguruan Tinggi dan beasiswa, tertangkap oleh pendengaranku atas pengumuman yang disampaikan kepala sekolah mengenai beasiswa bagus. Sangat bagus aku kata. Yaitu beasiswa gratis kuliah dengan penawaran di 12 Perguruan Tinggi di Indonesia, beserta perolehan living cost Rp. 900.000 tiap bulan (Bukankah Rp. 900.000 merupakan uang saku yang lebih-lebih untuk menyekoki perut selama sebulan dan tiap bulan). Perguruan Tinggi itu, sebut saja UGM, ITB, IPB, UPI, ITS, Unair, Unram, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel, dan IAIN Walisongo, UIN Malik Ibrahim. Mereka mempersilahkan berbagai jurusan yang disajikan. Ada Kedokteran, Agronomi, Advokasi, Sastra Inggris, Teknologi Informatika, Akutansi, Ilmu Hubungan Internasional, Ushuluddin, Ilmu Falak, dan banyak yang lain. Tentu saja pilihan jurusan tersebut menyesuaikan asal jurusan dari sekolah. Siswa jurusan IPS, mengambil jurusan terkait IPS atau keagamaan. Untuk siswa jurusan IPA bisa memilih jurusan apa saja yang ada, entah terkait IPA, IPS, atau keagamaan. Namun untuk siswa Program Keagamaan hanya bisa mengambil jurusan yang terkait keagamaan.
Terdengar juga, nantinya mereka yang lolos dan menjadi mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri akan didomisilikan di pondok pesantren. Nah, persis sesuai mauku, kuliah bebas biaya dan mondok. “Tak mengapa lah. Paling cuma bergeser penempatan prioritas, yakni kuliah dengan mondok, bukan mondok dengan kuliah sebagaimana awal keinginan.” Ini implikasinya: kuliah dengan mondok. Makna penyebutan dengan mendahulukan “kuliah” atau “mondok” mempunyai perbedaan signifikan. Mondok dengan kuliah artinya cenderung memposisikan pondok sebagai hal yang utama dan mengalahkan kerjaan kuliah. Sedangkan kuliah dengan mondok adalah memprioritaskan kuliah dalam studinya. Hal ini jelas bertolak belakang dengan inginku. Namun tidak apa, toh rasanya bagaimanapun keadaan seorang mahasiswa, di pondok dengan niat prioritas pondok atau tidak, tetap memberi perhatian lebih pada masalah kuliah. Mungkin karena kuliah memang dirasa penting dalam perjalanan belajar. Dipandang dari fungsi dan akademika perkuliahan sehingga menarik dan mendorong dia untuk menikmati.
Beasiswa itu berjuluk Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) dimana Kementrian Agama RI sebagai orang tua yang melahirkan dan pembimbing. Program yang lahir diprakarsai atas kesadaran pikiran supaya menciptakan akses mudah bagi santri untuk menginjak lantai pendidikan Perguruan Tinggi. Disadari selama ini, memang kaum sarungan dirasa sulit untuk mencicipi akses Perguruan Tinggi. Padahal mereka yang berada di pesantren, telah banyak berjasa dalam membangun negeri melalui berbagai budaya dan jebolan santri-santrinya. Lantas mengapa di negerinya sendiri, mereka tidak mudah mengakses pendidikan tinggi. Walhasil, Kementrian Agama yang banyak dijabat oleh orang-orang alumni pesantren, berangkat menyusun ide untuk membentuk program semacam beasiswa demikian itu.
Aku meyakinkan diri untuk mencentang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan jurusan Tafsir-Hadits-nya. Ada beberapa pertimbangan atau alasan yang menjatuhkan pilihanku padanya. Pertama, jurusan yang disuguhkan PBSB UIN Sunan Kalijaga tidak jauh berbeda dengan background keilmuan yang saya bawa dari madrasah dan pesantren, yaitu mengenai Ulum al-Din. Meskipun aku ada dari jurusan IPS, tapi aku tak cukup lihai dengan mata pelajarannya. Akuntansi, geografi, sosiologi, ah banyak definisi yang perlu diketahui. Berbeda dengan ilmu agama, kendati tidak sedikit juga bahasan-bahasannya, namun seorang santri sudah terbiasa menyantap kitab kuning dalam sehari-hari sehingga kajiannya lumayan mudah difahami. Kedua, Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar. Julukan tersebut menggiring asumsi tentang isi Yogyakarta yang mendukung dan kondusif untuk berstudi di sana.
Penyeleksian siswa yang diperkenankan ikut tes program beasiswa Kemenag ini ialah mereka yang berstatus santri, sekurang-kurangnya telah nyantri selama tiga tahun di pesantren yang satu yayasan dengan sekolah. Di samping itu, mereka harus berada dalam 10 besar pada 5 semester terakhir. Bersyukur saja, syarat awal beasiswa ini bisa aku lewati dan mengantarkan diri ke Semarang untuk mengikuti tes kelolosan masuk PBSB. Tepatnya tanggal 4 Mei 2011, singgah sehari di salah satu gedung IAIN Walisongo. Di sini sekolahku mengusung 22 pasukan untuk menembus tes seleksi PBSB tersebut.
Ada ritual-ritual khusus yang aku laksanakan (hihi :D). Kesana-kemari, aku meminta doa dan restu kepada para Romo Kyai. Meminta suwuk atau amalan supaya bisa lolos dalam keperluan ini, bahasa sopannya agar bisa mengikuti beasiswa ini. “Bener. Aku pengen masuk program ini. Aku mau kuliah dan mondok gratis, tanpa perlu orang tua.” Mungkin dengan lolos beasiswa ini, orang tua bisa merubah wajah mereka dengan senyum. Dan aku bisa sedikit membanggakan mereka. “Berbanyak shalawat.”
Bungah tidak terkira kala mataku menangkap nama Azam Anhar asal pondok pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kwanaran 139 A Kajeksan Kudus. Melalui pengumuman 2 lembar halaman berformat PDF yang ditilik dari http://www.pdpontren.com bertanggal 23 Mei 2011, bersyukur dan kegirangan atas keinginan untuk dan kuliah bebas biaya bisa tersampaikan dengan ini. Terlebih mengingat living cost yang akan didapati tiap bulan. Artinya aku bisa banyak berlepas tangan dari peran orang tua atas cekokan ongkos sebagaimana biasa. Tapi perlu dicatat, konsekuensi program beasiswa santri berprestasi ini ialah telah menandatangi kontrak mengabdi selama tiga tahun selepas studi di perguruan tinggi nanti. Rasanya itu proposional. Kita perlu melakukan timbal balik dan kontribusi atas ilmu-ilmu yang diberikan mereka, baik dari civitas pesantren yang telah awal memberikan bejibun amal dan ilmunya, dan juga dari Kementrian Agama RI yang telah memberikan amanat untuk berstudi di Perguruan Tinggi dalam rangka menampakkan urgensi peran santri dalam kontribusi negara.
Ada tanggungan tambahan untuk mahasiswa PBSB yang masuk di UIN Sunan Kalijaga, adalah mewajibkan 10 juz al-Qur’an untuk dihafal. Bagi pribadi, itu tidak mengapa. Malah bagus bisa menghafal al-Qur’an, lebih-lebih seluruhnya. Artinya hafidz 30 juz. Hal tersebut wajar, karena sinkron dengan jurusan yang diambil atau dikatakan mendukung dalam studi Tafsir-Hadits. “Ya, paling tidak melalui tanggungan ini bisa mengantarkanku untuk memperoleh kenikmatan hafal al-Qur’an.”
Aku lolos di UIN Sunan Kalijaga bersama Muhammad Ulinuha Mujib, lulusan terbaik Pondok Pesantren Tahfidz Yanbu’ul Qur’an Remaja, Kudus. Ia telah lancar 30 juz dan biasa mendapati juara lomba pidato bahasa Arab. Banyak point dimana aku tertinggal darinya. Semoga saja aku terbuat iri olehnya sehingga melecutkan tekat untuk memiliki asa. Bukan cuma ia, ada empat teman lagi yang lolos beasiswa ini. Jika dijumlah keseluruhan ialah enam siswa Madrasah Aliyah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus yang tembus menjadi mahasiswa PBSB. Satu di UPI dengan jurusan Sastra Inggris, satu di IAIN Walisongo dengan jurusan Konsentrasi Ilmu Falak, dua di UIN Sunan Kalijaga dengan jurusan Tafsir-hadits, dan dua di IAIN Sunan Ampel dengan Jurusan Akhwal Asy-Syakhsiyyah.

Babak Baru
Memasuki gerbang mahasiswa anyaran, agak gugup aku menatap nuansa kampus. Pikirku, civitas akademika kampus pasti banyak pengalaman dan tahu. Omongan yang disandang tentu banyak terselip bahasa ilmiah. Mengantongi alasan-alasan yang mematahkan untuk menepis jikalau polah-polah yang dilaku menyalahi etika dan norma. Apalagi mahasiswa Ushuluddin yang pernah populer dengan pendapatnya atas ketidakpentingan shalat, karena yang perlu cukuplah yakin atas Allah. Aku berada di Fakultas Ushuluddin, Studi dan Pemikiran Islam (FUSAP) dimana prodi Tafsir-Hadits menjadi bagiannya. Memutar rekaman kabar salah seorang dosen, jikalau tujuan daripada Tafsir-Hadits yang mulanya dimiliki oleh Fakultas Syari’ah dan kemudian dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin adalah sebagai umpan dalam menarik para calon mahasiswa untuk mengisi fakultas tersebut. Sebab sebelumnya, telah terpasang pada sosok Ushuluddin sebuah merk atau lebel menakutkan bagi orang awam, oleh karena laku civitasnya yang “menyalahi aturan” itu.
Mengaca sikap sendiri, aku biasa saja menanggapi kabar sedemikian itu. Bukan karena tahu, tapi cenderung tidak peduli perihal pemikiran kirinya mahasiswa Ushuluddin. Memang hal itu perlu diwaspadai supaya kita sendiri tidak ikut terkontaminasi pemikirannya. Ketika sowan meminta restu dan doa kepada masyayikh pesantren dan madrasah, beliau KH. Khoiruzad Turaichan, sesepuh Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus memasang lampu kuning sesaat setelah mendengar kata Ushuluddin dari jawabanku atas pertanyaan beliau berkenaan jurusan yang aku ambil. Namun kemudian tampak lega serampung mulutku melanjutkan Fakultas Ushuluddin dengan prodi Tafsir-Hadits. “Oh, yo wis lah nek Tafsir-Hadits. Berarti kan aman...” Dipahami bahwa tanggapan ini, dituturkan atas dasar kekhawatiran beliau terhadap santri didiknya bila terjun pada pemikiran orang-orang Ushuluddin dan ikut. Sebenarnya bukan semua mahasiswa Ushuluddin yang berpolah tidak shalat dan berpemikiran nylenehi norma agama, akan tetapi ada beberapa saja mahasiswa yang keblinger dan beritanya menjadi dikenal banyak kalangan. Mereka adalah mahasiswa yang berjurusan Filsafat Agama, studi yang konsentrasinya berolah pikiran yang bisa membuat keliru jika metodenya keliru.
Suasana baru bagiku ketika lawan jenis bercampur satu kelas dan sesrawungan di kampus, bahkan berkumpul dan berjejeran. Suatu pemandangan yang sangat haram dalam tradisi pesantrenku. Berkirim sms saja dengan yang bukan mahram bisa diadili, digebuki dan gundul. Aturan dan hukuman tersebut lumrah ditemui di pesantren salaf. Mereka mengikuti betul dawuh ulama yang telah termaktub dalam kitab kuning Timur Tengah. Tidak boleh hukumnya bercengkrama dengan lawan jenis tanpa alasan yang dibenarkan. Sehingga wajar, pesantren yang menamakan dirinya salaf menerapkan peraturan demikian itu. Terkait hukuman, saya kira menyesuaikan dengan tingkat kebandelan umunya santri. Hukuman gebuk dan gundul ditetapkan ketika para santri sudah berulangkali melanggar sehingga ini dapat berimbas menjadikan aturan tidak memiliki kelonggaran hukuman. Tetapi di kampus, lumrah berjejeran dan bercolek kulit dengan teman lelaki dan perempuan. Aku pun, dimana rasa kesalafan masih kental dalam darah, masih menjaga jarak dari prilaku tersebut.  Takut dosa. Takut durhaka terhadap Sang Kyai yang telah mengamanatkan untuk terus memegang apa yang diajarkan di pesantren.
Aku kaget ketika mendapati mata kuliah filsafat, terhenti pada kajian pemikiran para filsuf Islam. Rasanya begitu berbeda dengan pikiran, sejauh yang saya peroleh dari madrasah dan pesantren. Al-Farabi atas pandangan tentang kosmologi, berkenaan relasi Tuhan dengan alam, mengusung teori emanasi. Mula-mula Akal berpikir tentang Tuhan, dan dari laku berpikir itu timbul ekistensi atau wujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama, dan dari pemikiran itu timbullah Wujud Kedua yang juga memiliki substansi yang disebut Akal Pertama (al-Aql al-Awwal, the First Intellegence) yang bersifat imateri. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan selaku Wujud Pertama, dan dari pemikiran itu melahirkan Wujud Ketiga yang disebut Akal kedua. Wujud kedua/Akal Pertama selanjutnya berpikir tetang dirinya dan muncullah langit. Akal Kedua/Wujud Ketiga memikirkan Wujud Pertama, dan dari pemikirannya itu muncullah Akal ketiga atau disebut Wujud Keempat. Akal Ketiga/Wujud Keempat memikirkan dirinya sendiri dan lahir bintang, begitu seterusnya sampai pada Akal Kesepuluh/Wujud Kesebelas yang melahirkan bola bulan.
Membingungkan. Aku tidak mengerti tentang tindakan memikirkan sehingga memunculkan sebuah perwujudan langit, bintang, Saturnus, Yupiter, Mars dan seterusnya. Maksud dari hasil perwujudan/Akal yang memikirkan dirinya sendiri kemudian lahir wujud makhluk langit; bintang dan lainnya. Aku tidak mengenali. Rasanya aneh antara teori tersebut dengan konstruksi pandangan saya terhadap Islam. Yang saya ketahui Allah atas dzat-Nya sendiri menciptakan makhluk-makhluknya, tanpa ada yang lain yang menciptakan sebuah perwujudan. Bukan atas sebuah tindakan memikirkan yang melahirkan wujud makhluk.
Keheranan saya tidak terhenti pada isi bahasan filsafat saja. Pun untuk memahami sebuah pemikiran filsuf, katanya (seorang dosen) perlu meletakkan Iman barang sejenak untuk tujuan objektif agar bisa memahami. Tentu pekerjaan ini mengkhawatirkan. Kalau salah memahami perintah tersebut bisa menghilangkan status Islam seseorang, sebab keimanan itu bukan barang sepele yang gampang saja dilepas-pasang.

Songsong Pandangan Positif Terhadap Lain Pemikiran
Seiring perjalanan studi, aku semakin longgar meng-amin-i (baca: setuju) masukan materi yang disampaikan dalam kuliah. Perihal Islamic studies, ternyata khazanah pemikiran dalam Islam melandaskan pada upaya berpikir yang bukan asal-asalan. Ada keobyektifan di sana, meskipun yang namanya manusia bisa saja mengalami luput, sehingga hasil yang ditelorkan bisa keliru. Yang jelas, usaha mendekati penafsiran kalam Allah ialah tidaklah bisa sempurna. Sebagai manusia, kita hanya mencoba meraba dan mendekati apa yang dituturkan Allah. Tentu dengan menggunakan metode dan modal sebagai awal melakukan itu, bukan menggendong nafsu belaka.
Para tokoh pemikir Islam, insider atau outsider, memberikan perhatian besar melalui konstruksi pemikirannya yang kemudian memperngaruhi umat Islam merata dan mereka mengikutinya. Bukan sama seluruhnya, namun berbeda-beda. Umatpun mengambil yang sejalan dengan pikirannya. Dalam sebuah permasalahan, perbedaan pendapat menjadi wajar, bahkan saling bertolak belakang. Hal itu tidak bisa dihindari karena manusia hanya bisa meraba maksud Tuhan dan bisa saja salah. Allah tidak secara gamblang, sekonkrit-konkritnya mengatakan “apa mau-Nya”. Dia hanya memberi saku kita tentang ketentuan-ketentuan yang global dalam al-Qur’an, bukan terperinci. Sementara permasalahan tidak mandek pada satu masalah, akan tetapi berkembang menurut lokasi dan kondisi. Hukumnya bisa fleksibel menyesuaikan keadaan.
Tentang syari’at, amaliyah, dan apa saja bisa berlain pemikiran, selama merujuk pada sumber utama Islam, al-Quran dan penjelasan Nabi (hadits). Pun (rasanya) terhadap masalah akidah, hanya pada pokok yang tidak bisa lain, kudu mengimani sebuah ketetapan (istilahnya kebenaran mutlak). Yang mengalami perselisihan itu terletak pada masalah cabang (far’u), khususnya berkenaan ibadah. Ini yang biasa terangkat dan memasalah dalam kalangan umat, sehingga memicu terbentuknya sekat-sekat diantara mereka. Orang yang “berpandangan ini, seperti itu, demikian ini” meminggir membuat nama golongan. Banyak sekali, bahkan sampai memincingkan mata terhadap yang tidak sepaham. Imbasnya, hal tersebut dapat menggiring mereka pada sikap memecah-mecah.
Pola tindakan ini yang disayangkan, bisa parah membuat integritas umat terbelah. Padahal Rasulullah sudah menuturkan kalau seseorang melaku ijtihad dan benar, ia memperoleh dua ganjaran. Namun jika salah, ia mendapat satu pahala. Atau ungkapan yang lain dari Nabi, bahwa perbedaan merupakan rahmat. Atau dari Allah sendiri dalam firmannya tentang penciptaa manusia yang sengaja dibuat beragam; laki-laki, perempuan, bersuku, berbangsa supaya saling mengenal (memahami). Hal demikian jelas jika perbedaan telah direstui, sudah dirangkai sedemikian rupa. Perbedaan itu alami; akal, pikiran, pandangan disusun berbeda karena itu kekayaan Allah, sehingga output manusia bisa beragam sesuai hal yang diformulakan.
Adalah tindakan yang kurang tepat apabila seseorang atau segolongan menyalahkan yang lain atau mamasang sikap acuh, apatis, egois, tidak mau senyum dengan mereka. Lantas menyusun kalimat provokasi yang mempengaruhi pikiran khalayak untuk “menganugerahkan” stempel negatif terhadap satu pemilik pandangan yang bersebrangan dengan ia. Sikap ini sudah terjadi sejak dulu, malah sedari ulama salaf tersebar dimana-mana. Pun sampai sekarang, sikap tersebut sudah merambah ke pelosok-pelosok jiwa sebagian khalayak-sebagian khalayak.
Sebenarnya para imam dan ulama telah mengajarkan dan mencontohkan bagaimana menyikapi perbedaan. Ingat saja Imam Maliki yang mempersilahkan murid terbaiknya, Imam Syafi’i, untuk berbeda pendapat. Dan beliau merestui, bahkan memerintahkan Imam Syafi’i untuk berlepas dengannya mengeluarkan fatwa atas ijtihad Imam Syafi’i sendiri. Akan tetapi para umat sebaliknya, mungkin karena fanatik pada satu golongan sehingga ia kaku melihat yang lain. Aku, rasanya sedari bocah di kampung hingga beranjak gede di pesantren, pandangan dan sikapku juga seperti itu. Di kampung yang mayoritas kaum NU, orang-orang tua mengajari anak-anak terkesan menyalahkan yang lain, khususnya Muhammadiyah. Pondokpun bersandang NU, rasanya juga banyak kyai berfatwa jika golongan A itu tidak lebih baik dari kaum kita. Mungkin iya, ini juga bisa disebabkan pihak lain yang sudah memberikan tatapan negatif pada mereka, dan kemudian kami (kampung dan pesantren) merespon balik dengan tatapan yang sama negatif. Lalu jadilah saling memincingkan mata. Tentu aku sebagai orang yang dituntun dalam agama mangut-mangut pada dawuh beliau-beliau yang berposisi imam.
Namun selanjutnya, ketika menginjak lantai yang lebih luas, yang aku dapati dalam perkuliahan, menjadi tahu asal-muasal bagaimana peristiwa sedemikian itu terjadi. Bahwa perbedaan itu dikehendaki Allah. Manusianya saja yang fanatik pada satu pendapat sehingga membentuk dirinya tidak santun dengan yang lain. Padahal ada aturannya, berlain pandangan dipersilahkan asal memiliki landasan. Kemudian kita beradu argumen untuk mempertemukan titik yang sama. Kalaupun tidak ditemui titik kesamaan, kita tetap saling bersikap hormat dan menghargai.
Kesadaran sikap ini membawa juga pada term-term yang lebih luas. Tentang filsafat, tentang sosilogis, kultur, dan sebagainya. Adanya pemikiran filsafat, oleh Yunani, bangsa barat, filsuf Islam, pasti hal itu dimulai dari prespektif atau mindset yang dibangun. Kemudian berolah pikir sejauh kemampuan terbatas yang dimiliki manusia, jadilah beragam hasil dan teori. Kita memaklumi saja. Mengiyakan atau tidak, dipersilahkan sesuai pendapat masing-masing.
Kita tidak boleh kaku, jikalau dalam civitas kampus, lelaki dengan perempuan biasa berkumpul dan berjejer. Kita perlu menilik konteks, baik sosiologis, kultural, psikolgis dan sebagainya. Mungkin melihat fungsi, dalam diskusi perkuliahan tidak bisa berjalan baik bila semua komponen menjaga jarak, sangat hati-hati, berjauhan. Pastinya hal ini dapat mempengaruhi hasil diskusi, ia baik, sempurna atau belum maksimal. Begitu pula bersentuhan kulit antar lawan jenis. Ingat, salah satu imam kita ada yang berpendapat bila bersentuhan pada yang bukan mahram tidak membatalkan wudlu. Jika tidak demikian, mungkin masih banyak alasan-alasan lain melihat konteks ke-Indonesia-an dan kultur. Nah, maksud saya, kontruksi pemikiran seperti ini yang nanti akan saya sampaikan ke pesantren dan khalayak.
Azam Anhar, CSS UIN Sunan Kalijaga 2011