BEHEL FASHION

Lihat yah ^^

OPAC UIN SUKA

Nyari buku di Perpus UINJOG

FACEBOOK

Tampang fb gua!

POETRY

Senja Di Pantai

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, April 23, 2013

Biodata Setan



Sedari siang (tadi) tertarik sama biodata setan. Tapi nggak dapet-dapet info yang dipengen. (*pake sistem scanning sih, soalnya pengen cepet dapet. entah klewat paling yak, bacanya?). Dari buku Quraish Shihab nih.

  1. Nama                                      : Iblis
  2. Gelar                                       : Setan
  3. Tgl. Lahir                               : 1-1-Tahun perintah sujud kepada Adam
  4. Alamat                                   : Hati orang-orang yang lengah
  5. Warga Negara                      : Dunia
  6. Agama                                    : Kekufuran
  7. Pekerjaan                               : Pengasuh semua manusia yang sesat dan dimurkai Tuhan
  8. Pangkat dan golongan       : Pembangkang Utama
  9. Jabatan                                   : Pemimpin tertinggi kekufuran dan Syirik
  10. Masa kerja                             : Sejak kelahiran Adam sampai kiamat
  11. Modal kerja                           : Penipuan
  12. Cara Kerja                              : Bertahap
  13. Sarana                                     : seks, harta, dan semua hiasan dunia
  14. Sumber rezeki                      : semua yang haram
  15. Tempat                                    : Night Club, pasar, dan tempat-tempat kotor
  16. Hobi                                         : Menyesatkan dan menjerumuskan
  17. Cita-cita                                  : Semua manusia masuk neraka
  18. Istri                                          : Semua yang terbuka
  19. Anak sah                                : Lima orang
  20. Cucu-cucu                              : Yang durhaka pada orang tuanya
  21. Yang ditakuti                         : Zikir dan ayat al-Qur’an
  22. Musuh                                     : Tuhan dan orang beriman
  23. Teman                                     : Semua yang rakus, boros, dan ingin kekal
  24. Kekuasaan                             : Nihil
  25. Kemampuan                          : Lemah
  26. Wewenang                             : Merayu
  27. Alat komunikasi                   : Waswas dan mengumpat
  28. Yang paling disenangi         : Pemutusan hubungan antara Tuhan dan Manusia
  29. Kepribadian                           : Angkuh

Sebenernya aku udah tertarik pada pemahaman polah tingkah setan itu atas kehendak Tuhan. Artinya ia diridhai, bukan dimurkai. karena lakunya menggoda manusia itu diperintah Tuhan. (terdukung kata caknun)

Syukur. aku merasa terdukung oleh ilustrasi Taufiq al-Hakim (sastrawan Mesir kontemporer), kendati belum tau apa rujukannya dia. Setan ngomong keniscayaan dirinya: “Eksistensi saya diperlukan untuk wujudnya kebaikan: jiwa saya yang penuh kegelapann harus terus demikian agar dapat merefleksikan cahaya ilahi.”
Kehendak Tuhan, bukan...

Tapi aku belum dapet data lanjut. Kurang dalil untuk membenarkan pikirku (pahamku). Bingung-bingung, aku search di google. eh nemu motto hidup setan. Katanya: “ nikmatilah hidup, selagi masih hidup. Jika surga akherat sulit didapat, kenapa enggak surga dunia yang diembat?”
Menarik, bukan... haha. alamat tetapnya nanti di neraka. “home sweat” katanya. Haha

#lihat: M. Quraish Shihab, Setan dalam al-Qur’an. Sama cybermanado.blogspot.com

Sebenernya dari sebenernya, paham mula-mula-ku itu dari sebuah cerpen dalam ebook Bunga Rampai. Judulnya Seorang Lelaki dan Iblis Yang Menangis. Simak cerita di bawah ini!

Seorang Lelaki dan Iblis Yang Menangis
Publikasi : 21-06-2005
Aku meneguk tehku sampai habis, kemudian meletakkan cangkirnya di meja kecil samping tempat tidurku. Kuletakkan buku yang kubaca. Membuang rasa penat, aku bangkit, berdiri sambil meletakkan tangan di pinggang, lalu membuat gerakan memutar pinggulku ke kiri-kanan. Gemeretak bunyi tulang punggungku terdengar begitu nikmat.

Entah mana yang lebih nikmat, bunyinya ataukah rasanya? Aku tidak mau berpikir lebih lanjut. Ada kenikmatan lain yang ditawarkan alam padaku. Di luar, sinar bulan yang baru mulai muncul menyeruak masuk dari pintu beranda kamarku. Menyeret sendal kamar di kakiku, aku membuka pintu beranda.

Maksud hati ingin lebih menikmati indahnya panorama itu, tapi pemandangan lain kontan menyedot perhatian di balik pintu yang terbuka.

Seorang, seekor - atau sesosok - Iblis duduk di beranda. Kukenali dari dua tanduk di kepala, tubuh telanjang tanpa alat kelamin dan ekor dengan bentuk mata panah diujungnya. Sinar lampu di belakangnya membuat posisinya membentuk seperti siluet the thinker, karya Auguste Rodin. Sesaat, berandaku terasa seperti galery museum Decorative Arts di Paris. Mendadak rasa takut menyelimuti tubuhku. Kuamati lekat mencari tanda-tanda, apakah ini patung? Atau iblis yang sebenarnya?

Hah..! Ia mendesah panjang!

Dalam keterkejutanku, kucopot sendal kamarku dan kulempar sekuat tenaga ke arahnya. Sendal itu terlalu ringan, dan aku melempar tanpa bidikan yang jitu. Bukan menampar wajahnya, sendal itu malah menyangkut di salah satu tanduknya. Dan itu rupanya tidak cukup mengganggu, apalagi mengusirnya. Bahkan ia tidak bereaksi sedikit pun.

Ku tunggu beberapa detik, yang terasa seperti bermenit-menit. Ia tetap tidak bereaksi. Lalu kuputuskan mencoba mengusir dengan teriakan agak keras, "Hush.. Pergi Sana!"

Tapi ia masih disitu. Duduk di ujung kursi berandaku. Aku sejenak ragu. Takut, tapi harus berani. Bagaimana pun aku orang beragama bukan? Orang beragama tidak boleh takut pada Iblis. Tapi harus takut pada Tuhan. Pada Allah sang pencipta.

Jadi kudekati dia lebih dekat, dan kuulangi teriakan pertama dengan sisa sebelah sandal kamar teracung di tangan kananku.

Ia menoleh sedikit, dengan sendal kamar masih menyangkut di tanduknya, membuatku bersiap atas kemungkinan berhadapan dengan kemarahan sang Iblis. Tapi yang kulihat membuatku terkejut. Lho? Ia menangis!

Mataku tertumbuk pada matanya yang berair. Bulir air mata tampak satu-satu turun dari sudut matanya.

Ia menoleh dengan sudut lebih besar, sehingga wajahnya kini terlihat lebih jelas. Tak terlalu buruk untuk ukuran Iblis - walau tentu saja aku tidak pernah tahu gambaran wajah Iblis sebenarnya. Tapi paling tidak wajahnya tidak seperti wajah-wajah jin atau iblis dalam film holywood. Mungkin agak mirip tokoh Sith Lord di Phantom Menace-nya George Lucas, botak, bertanduk, hidung mancung dan mata yang besar, tapi cukup bersih dan cakap.

"Pergi.. Jangan ganggu!", kali ini seruanku lebih perlahan tapi tetap tegas.

Sesaat ia mengamatiku, kemudian menjawab. Suaranya terdengar agak parau dan kasar.

"Mengapa?", tanyanya, "Kau begitu takut padaku?"

Tentu saja aku takut padanya. Siapa manusia yang tidak takut Iblis? Tapi seperti yang kukatakan, orang beragama diajarkan hanya takut pada Allah, pada Tuhan yang kita sembah. Dan aku orang beragama, jadi aku berbohong padanya, "Aku tidak takut sedikit pun padamu!"

Ia mendesah, terdengar seperti desahan kakek-kakek tua.

"Walaupun aku adalah raja dari kaum-ku? Pemimpin besar dari segala Iblis?"

"Walaupun kamu raja dari segala raja biang setan di seluruh dunia dan akhirat", jawabku. Entah siapa yang aku coba yakinkan, dirinya atau diriku sendiri.

"Kau tidak berdusta?", tanyanya.

Aku agak ragu juga untuk menjawab. Berdusta itu dosa bukan? Iblis ini memang sialan. Hanya dalam beberapa detik bercakap dengannya, aku sudah melakukan satu dosa. Atau mungkin dua? Apakah melempar sandal ke kepala sang Iblis termasuk perbuatan dosa? Entahlah, mungkin nanti aku periksa dalam kitab suci - kalau-kalau ada ayat yang menyatakan tentang itu-. Yang jelas, kalau aku menjawab pertanyaannya kali ini, berarti aku sudah berbohong dua kali.

Jadi aku diam saja. Agak mengangguk sedikit. Semoga mengangguk kecil tidak termasuk berbohong.

"Lalu kenapa aku harus pergi?" tanyanya lagi. "Apakah dengan duduk disini sudah demikian mengganggumu? Atau kau demikian benci padaku?"

"Kau Iblis. Bahkan katamu kau raja dari segala Iblis. Tentu saja aku benci padamu. Apa yang kau harapkan? Aku mencintaimu? Edan!"

Iblis itu menunduk. Lalu mulai menangis seperti anak kecil. Tersedu-sedu, kepalanya mengangguk-angguk. Sendal di tanduknya jadi bergoyang-goyang. Pemandangannya agak lucu sebenarnya, tapi segera tertepis dengan kecurigaan yang muncul dalam benakku.

"Permainan apa yang ingin kau hadirkan padaku Iblis? Hentikan tangismu! Kau bisa membangunkan seisi rumahku!"

Setelah menarik napas panjang beberapa kali, isaknya menyurut. Ia menatapku dengan tatapan sedihnya. "Boleh aku minta teh?"

Aku tidak habis pikir, tentu saja. Untuk apa seorang -atau sesosok- iblis minta teh? Kecurigaanku bertambah. Pasti -kataku yakin dalam hati- ia sedang merencanakan sesuatu.

Apa pilihanku? Menolak? Bagaimana orang yang percaya pada Allah bersikap dalam kondisi begini? Apakah memberi teh pada Iblis adalah satu dosa?

Seandainya saja ada malaikat yang hadir di sini, mungkin aku bisa bertanya. Entah benar atau tidak, malaikat itu rasanya seperti polisi di negeri ini saja. Saat dibutuhkan, tak tahu kemana rimbanya. Ataukah mereka ada, dan aku saja yang tidak mengetahuinya?

Apakah setiap kali Iblis hadir dan menggoda manusia, otomatis malaikat akan hadir pula? Seperti visualisasi pertempuran bathin tokoh-tokoh kartun dalam film walt disney dimana ada gambaran sosok bersayap dan sosok bertanduk yang saling membujuk? Kalau ya, di mana mereka kini?

Aku memincingkan mata, mencoba mencari sosok-sosok putih bersayap. Di sudut-sudut beranda, di taman pekarangan, di balik selasar. Sekali kusenggol pintu perlahan dengan kakiku untuk mengecek -jangan-jangan ada malaikat di baliknya-. Tapi tidak ada tanda-tandanya.

Jadi aku masuk ke dalam, menghampiri poci teh di meja samping tempat tidurku. Kuusap bibir cangkir yang bekas kupakai dengan bajuku, lalu kutuang teh secukupnya, dan kubawa kembali ke beranda.

"Dengan satu syarat," kataku saat mengacungkan cangkir teh ke depan hidungnya. "Habiskan ini, dan tinggalkan berandaku!"

"Baiklah." katanya sambil mengambil cangkir yang kusodorkan. Sebaliknya ia menyodorkan sendal kamarku.

Aku mengenakannya sambil mengawasi ia menempelkan cangkir ke bibirnya, lalu menyeruput teh yang masih agak hangat itu. Perlahan, dan sedikit sekali. Saat selesai kulihat isi cangkir itu tidak terlihat berkurang.

Brengsek, makiku dalam hati. Sekali lagi aku tertipu. Dengan cara minumnya seperti itu, bisa lebih dari sepuluh kali tegukan ia baru menghabiskan secangkir teh setengah penuh. Berapa banyak lagi tipuan Iblis yang lahir dari kata-kata manusia sendiri?

"Terimakasih, hangatnya teh ini sangat melegakan hatiku yang sedang sedih." katanya sambil memegang cangkir itu dengan kedua tangannya, seperti mencari kehangatan di sana.

"Aku tidak akan termakan permainanmu Iblis." sahutku kasar. "Kebaikanku memberikan teh, jangan kau artikan kelemahan. Jadi sebaiknya kau tetap tutup mulut, cepat nikmati dan habiskan teh itu, serta segera berlalu dari sini. Ini bukan rumah yang menerimamu dengan tangan terbuka."

Ia mengangkat tangannya sedikit menahan kata-kataku. "Kau orang baik. Sepertinya kau juga orang taat. Tapi mengapa begitu kasar?"

"Kepada Iblis tidak ada larangan berkata kasar." sahutku.

"Begitukah?" tanyanya -hampir pada dirinya sendiri-. "Yang dilarang bukan perbuatannya tapi kepada siapanya?"

Brengsek. Aku sadar kemana arah pertanyaannya. Lebih brengsek lagi, gugatannya memang benar. Dalam banyak hal, perbuatan memang dilarang bukan atas perbuatannya, tapi pada siapanya. Membunuh pun jadi halal ketika diletakkan pada orang yang pantas untuk dibunuh. Perkara siapa yang kompeten menentukan pantas-tidaknya, itu adalah perkara lain.

Semestinya hanya pemberi kehidupan yang punya kompetensi untuk mencabut nyawa. Tapi bahkan Tuhan pun sepertinya menggunakan sistem perwakilan. Kalau tidak, bukan tangan malaikat yang mencabut nyawa manusia, tapi tangan Tuhan sendiri.

Jadi mungkin wajar pula kalau sebagian orang merasa jadi wakil Tuhan untuk mencabut nyawa orang lain. Alasan kafir sudah cukup untuk hilangnya selembar nyawa manusia. Walaupun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan sosok psikopat Jack The Ripper yang merasa jadi wakil tuhan dan membunuhi pelacur.

Ah, aku mengusir pikiran-pikiran yang muncul dalam benakku. Aku pasti sudah terjebak dalam permainan kata-kata si Iblis. Ia memang pandai. Sangat pandai. Bodohnya aku yang terus membiarkannya berkata-kata.

"Tahukah kau mengapa aku sedih?" tanyanya.

"Kau hendak mencobai aku, Iblis?" sergahku. "Jangan kau coba-coba. Aku tidak akan beranjak dari keyakinanku untuk mengikutimu."

"Aku hanya bertanya," sahutnya. "Mestinya kau berempati pada mahluk yang tengah kesusahan."

"Iblis kesusahan?" kataku sambil sedikit tertawa. "Tentu saja kau akan kesusahan sejak kau menantang Allah! Dan tidak ada empati untuk mahluk penentang Allah."

Aku sengaja mengatur nada suaraku agar terdengar sangat sinis.

"Empati. Memang kau siapa? Untuk korban kejahatan, korban bencana alam, kaum dhuafa, empati tentu saja wajib diberikan. Tapi untuk Iblis macam kau? Untuk manusia sampah masyarakat, penghancur tatanan sosial masyarakat seperti bandar-bandar narkoba atau koruptor saja tidak ada empati untuk mereka. Mereka bukan victim, bukan korban. Mereka adalah pelaku kejahatan. Apalagi kau sumber segala kejahatan manusia!"

"Bukankah manusia-manusia yang kau katakan itu adalah korban juga? Korban ketidakadilan sosial, korban penindasan politik, korban masyarakat? Bukankah melanggar hak asasi manusia kalau tidak ada sedikitpun empati untuk mereka?"

Di relung-relung benakku, terbersit pikiran kalau sang Iblis ini mulai terlihat belangnya. Lihat saja, ia tidak lagi menangis, dan mulai mencoba beretorika. Memang benar ajaran-ajaran kitab suci tentang watak sang Iblis. Bayangkan saja, ada Iblis berbicara soal Hak Asasi Manusia! Busuk benar kan?

Persis seperti negara adikuasa yang membom negara lain atas nama hak asasi manusia. Persis seperti para pembela agama yang membunuhi manusia lain. Walaupun untuk perihal korban, apa yang dikatakannya benar, tapi mana mungkin aku terima begitu saja? Persetan dengan hak asasi manusia! Toh konsep hak asasi semakin lama sudah semakin bias, seperti juga konsep-konsep demokrasi, kebebasan, hukum, semua alur dan letaknya sudah sangat campur aduk dalam tatanan hidup masyarakat modern sekarang ini.

Entah kapan tepatnya, di masa depan komunisme mungkin malah akan bersandingan dengan theis, dan bukan dengan atheis.

Tiba-tiba aku seperti tersadar. Tentu saja! Yang bertanggung jawab atas campur aduknya semua itu, tentu adalah sosok di hadapanku ini! Sang iblis! Jadi bukan manusia yang keblinger. Bukan manusia yang jahat. Tapi sang Iblis!

Bukan manusia yang korup, bukan manusia yang pemerkosa, bandar narkoba, maling... Pikiranku terhenti sendiri. Benarkah? Benarkah bukan manusia yang menjadi penjahat? Kalau begitu manusia juga hanya victim? Victim dari kejahatan si Iblis, penipuan si iblis, hasutan si iblis.

Iblis ini benar-benar hebat. Apa yang dilakukannya sesuai dengan reputasinya. Lamunanku terhenti ketika Iblis dihadapanku mulai berkata-kata lagi.

"Dan katamu aku menentang Allah? Itu tidak benar!" Wajahnya lebih menunjukkan raut bingung ketimbang marah.

"Aku cukup hapal cerita kitab suci tetang pemberontakanmu menantang Allah. Kalau kau menolak, dusta memang sudah menjadi sifatmu bukan?"

Ia tampak tidak memperdulikan cercaanku.

"Aku hanya menjalankan perintah Allah." katanya perlahan. "Allah memerintahkanku untuk mencobai manusia, untuk menggoda manusia, menguji sejauh mana ketaatannya pada Allah. Apakah itu berarti menentang Allah?"

Ia menoleh padaku dan melanjutkan kata-katanya, "Kalau Iblis menentang perintah Allah untuk menguji manusia, apakah ada Iblis yang menggoda manusia? Bukankah semua terjadi atas ijin-Nya? Mengapa manusia harus membenci aku? Bukankah ini hanya just business and nothing personal." katanya dengan raut tidak berdosa.

Sesaat aku ingin memakinya. Tapi ia melanjutkan lagi kata-katanya.

"Inilah yang aku sedihkan sebenarnya. Mengapa kalian manusia begitu membenci aku. Sedangkan aku hanya bekerja sesuai apa yang diberikan Allah padaku. Apakah kalian tidak tahu kalau aku tidak berkuasa apa-apa atas kekuasaan Allah?"

Aku kehabisan kata-kata. Benar-benar sulit melawan pemikiran dan kata-kata Iblis. Aku mencari-cari dalam benakku kata-kata dalam ayat suci untuk menjawab sang Iblis.

Tapi otakku seperti buntu. Mestinya aku tidak hanya membaca -tanpa memahami- huruf- huruf itu setiap malam. Apakah ada yang bisa kugunakan untuk melawan kata-katanya? Kusadari kepercayaan diriku mulai runtuh saat aku tidak kunjung menemukan jawaban yang ampuh.

Mungkin seharusnya ada rumusan untuk melawan iblis secara jelas. Untuk menjawab godaan A, bacalah ayat A, untuk jenis godaan B, bacalah ayat B. Pada siapa pula aku harus menuntut-nuntut hal seperti ini. Pada ulama? Pendeta? Guru ngaji? Penginjil? Literasi dalam kitab suci tidak diterjemahkan dalam rumusan ces-pleng model begini. Kita hanya disodorkan pada dongeng-dongeng, cerita-cerita, hikayat-hikayat dan harus menimba sendiri inti sarinya.

Berbondong-bondong manusia menjemput undangan sang Iblis karena kehabisan pemikiran untuk menyanggah pertanyaan yang dilontarkan sang Iblis.

Bagaimana cara melawan sosok Iblis dan pemikiran-pemikiran hebatnya? Dengan Iman? Hanya thok percaya pada kekuasaan Allah? Bagaimana teknis-praktisnya? Terpikir olehku satu jawaban : Menyebut nama Allah. Mungkin mestinya itu yang aku lakukan, tapi alih-alih aku malah melontarkan satu kalimat bentakan, "Hah..! Kau benar-benar raja Iblis. Kepandaianmu memutarbalikkan fakta memang menjadi ciri yang lekat dengan Keiblisanmu."

Ia terdiam. Kuharap bentakan itu cukup meneguhkan keimananku. Cukupkah? Menunding orang lain jahat memang lebih mudah dilakukan. Perkara apakah itu akan mendudukan kita jadi orang yang sama jahat, itu lain soal. Yang penting harus ada penegasan, aku tidak sama dengan kau. Kau penjahat, aku bukan penjahat. Kau maling, aku bukan maling. Kau penipu rakyat, aku bukan penipu rakyat. Pendek kata, kau Iblis, aku bukan iblis.

Pikiranku membangun puing-puing keyakinanku untuk menghadapi sang Iblis. Kita perlu kepercayaan diri yang tinggi untuk melawan ketidakbenaran bukan? Tidak salah kalau kepercayaan pertama yang harus dimiliki adalah mempercayai kita berada di pihak yang benar. Apa yang kita lakukan adalah benar-benar benar. Tanpa itu kita akan selalu berada dalam ambang ambigu. Perkara kebenaran itu versi kita pribadi, masa bodo lah. Toh yang kita lawan adalah sosok kejahatan, dajjal, sang Iblis.

Aku mulai tersenyum seiring tumbuhnya keyakinan baru. Kutatap wajahnya lekat-lekat, saat Iblis itu mendongak dan bertanya tiba-tiba.

"Apakah kau tidak membenci malaikat pencabut nyawa?"

Ini seperti sebuah pertanyaan tolol. Mudah sekali menjawabnya, pikirku.

"Kenapa harus membenci? Ia malaikat! Tentara Allah! Mahluk suci yang tidak mau berpaling dari Allah. Tidak sepertimu!"

"Bukankah ia yang mencabut nyawamu?"

"Ia menjalankan itu atas perintah Allah! Itu tugasnya, Bodoh!" Makianku akhirnya terlontar juga di atas ketidaksabaranku.

"Bukankah aku pun demikian? Aku hanya menjalankan tugas." sahutnya perlahan.

"Entah apa kepercayaanmu terhadap Allah, tapi semestinya kau tahu bahwa rencana Allah yang mendudukan manusia, iblis dan malaikat dalam hubungan seperti ini. Kita hanya menjalankan tugas kita masing-masing."

Aku terdiam. Percakapan ini pasti akan sangat panjang, dan penuh dengan pertengkaran kalau dilanjutkan. Menyebalkan. Walau keyakinanku -bahwa aku adalah sang benar yang tengah melawan sang iblis- tidak surut, tapi aku pikir perlu berpikir secara strategis untuk menghadapinya.

Tidak ada gunanya mengikuti perdebatan dengan Iblis. Bagaimana pun ia Iblis dan aku manusia. Apakah manusia berkuasa untuk mengalahkan Iblis? Mestinya, ya. Tapi kekuasaan itu entah derajatnya lebih rendah atau lebih tinggi dari kekuasaan sang Iblis untuk menggoda manusia. Aku tidak tahu, dan tidak mau berspekulasi.

Melawan kejahatan manusia saja kita perlu berstrategi, apalagi biang segala kejahatan ini. Aku pernah membaca di sebuah buku, gembong kejahatan Al Capone pernah berkata, Jika kamu tidak bisa menang dengan bertarung secara fair, main kotor itu wajib, atau usahakan pihak ketiga menjalankan pertarunganmu.

Saat ini tentu saja tidak ada pihak ketiga, karena hanya ada aku dan sang Iblis. Begitupula aku tidak akan bisa menang secara fair. Jadi pilihannya yang tersisa hanya main kotor. Jadi aku berkata perlahan saja.

"Okelah, kau sedih karena manusia membencimu. Lalu apa maumu?"

Ia tampak bingung sendiri. Kepala bertanduknya menggeleng-geleng perlahan.

"Aku... aku hanya ingin tidak dibenci. Itu saja."

"Bagaimana kalau kukatakan aku tidak membencimu. Apakah itu cukup bagimu?" sahutku dengan nada membujuk. Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benakku.

"Kalau manusia tidak membencimu apakah kau akan terus menggoda manusia, atau kau akan pensiun menjadi Iblis?"

Mungkinkah manusia menjadi jalan keselamatan untuk sang Iblis? Sungguh, prestasi besar kalau bisa begitu. Apakah ada bonus pahala khusus untuk manusia yang bisa menghentikan karya sang Iblis di dunia? Tiket langsung menuju surga rasanya pantas untuk ganjaran prestasi semacam ini. Menumpas kejahatan, terdengar heroik sekali kan? Walau dalam prakteknya menggunakan kejahatan lain, tapi gelar orang suci dan bonus tiket itu terlalu menarik untuk dilewatkan. Pantas saja begitu banyak seruan untuk menumpas pemimpin negara yang dinilai kafir.

Tiba-tiba ia berkata, "Kalau aku menjadi pengikut Allah yang setia, apakah manusia tidak akan membenci aku?"

Aku terkesiap sejenak. Ini pertanyaan sulit. Siapa manusia yang mau percaya bertobatnya sang Iblis? Kepercayaan itu barang mahal dalam dunia.

"Aku tidak tahu." jawabku. "Hati manusia tidak bisa terbaca semudah membaca tulisan dalam buku. Panjang-pendeknya akal manusia juga tidak terukur dalam dimensi yang mudah diukur. Lagipula mengapa kau begitu terganggu soal benci-membenci ini?"

"Manusia memang begitu." katanya. Sedikit tersenyum ia melanjutkan. "Kadang Iblis lebih jujur dibandingkan manusia."

"Hah...!" sergahku pendek.

"Benar. Iblis tidak pernah menyangkal dirinya sebagai pembuat kejahatan. Tapi manusia tidak demikian bukan? Di hadapan sang Khalik- pun manusia masih bisa berdusta."

"Tidak di hari akhir. Di pengadilan akhirat nanti, tidak akan ada yang mampu berdusta ketika dihadapkan pada sang Khalik." kataku yakin.

"Tapi ya, di dunia bukan?" sang Iblis menatapku dengan matanya yang kini tidak berair lagi. "Tuhan, Allah, tidak hanya menunggu di perhentian terakhir. Dia menyertai manusia sepanjang hidupnya. Apakah kau tidak merasakannya?"

Apakah aku merasakannya? Aku tidak tahu pasti. Kadang ada saat-saat Allah terasa begitu dekat. Tapi seringkali aku juga merasa tidak ada siapapun di dunia ini. Seperti kalimat dalam film alien-futuristik : we are all alone.

"Allah tidak membutuhkan manusia untuk merasakannya. Ia pasti hadir." Aku terkejut sendiri dengan kata-kata yang terlontar tiba-tiba dari bibirku. Bagaimana pun, itu jawaban diplomatis yang bagus bukan?

"Tapi manusia sering berdusta dalam doa, berdusta dalam karya, bicara, kata-kata dan perbuatan." kata Iblis.

"Atas bujukanmu tentu." sahutku pendek.

"Atas perintah Allah pula tentu." sahutnya tersenyum.

Brengsek, aku terjebak lagi. Kusadari upaya main kotorku untuk membujuk sang iblis telah gagal total. Tinggal satu cara menyelesaikan perdebatan tidak bermutu ini.

"Enough! Cukup. Jangan lagi tebarkan kebohongan-kebohongan di berandaku ini. Silahkan kau habiskan tehku, dan pergilah cepat. Dan satu lagi." kataku dengan nada keras. "Jangan coba-coba kembali kesini. Lain kali aku akan memakai sepatu boot." kataku mengancam.

Aneh tapi nyata, ancaman itu efektif. Sekali lagi aku teringat sebaris kata-kata dari buku tentang gembong mafia Al Capone, "Kata-kata kasar dan senjata akan mendatangkan lebih banyak hasil, dibandingkan kata-kata manis."

Iblis itu meneguk teh dalam cangkir dengan satu gerakan. Ia mengulurkan cangkir itu ke tanganku, tapi menahannya saat aku akan mengambilnya.

"Apakah kau masih membenci aku?"

Aku terdiam sesaat. Harus ada jawaban yang tuntas untuk sang Iblis. Jadi aku katakan saja, "Walaupun kita sama-sama mahluk Allah, tapi kita berbeda. Membencimu adalah dalam koridor tugasku sebagai manusia dan penyembah Allah. It is just business, nothing personal."

Ia terdiam. Lalu dalam sekejap ia hilang tak berbekas.

Jam besar di dalam kamarku berdentang. Aku membereskan cangkir bekas sang Iblis, dan kembali ke tempat tidurku. Tepat saat aku menarik buku yang kubaca kepangkuanku, pintu kamarku terbuka.

Suster Mary masuk sambil membawa nampan peraknya. "Waktunya minum obat, sir!" katanya sambil tersenyum dan menyodorkan sebutir prozac ke bibirku. (DBaonk)

* * * *

Glossary :
The thinker = patung terkenal karya Auguste Rodin yang terinspirasi karya besar Dante : Divine Comedy. Diletakkan di pintu masuk Museum Decoratie Arts di Paris, patung ini kabarnya menggambarkan sosok Dante sendiri sebagai seorang pemikir.

Sith = Tokoh antagonis rekaan dalam film George Lucas Star Wars. Tokoh ini pertama kali muncul dalam episode pertama Star Wars (yang justru diciptakan setelah trilogi episode IV, V & VI).

Just business - nothing personal = ungkapan dalam bahasa Inggris yang menunjukkan tidak ada kepentingan pribadi melainkan hanya pekerjaan semata.

Enough = cukup.

Prozac = obat yang biasa digunakan untuk penderita schizofrenia (penderita gangguan jiwa).
www.KotaSantri.com

:) gimana...?

Sabtu, April 06, 2013

Cuma Pengen Tenar

Wa la tamnun tastaktsir. (sebuah ayat)
Manusia memiliki satu hal yang menjadi kecenderungan umum, yakni mengharapkan imbalan dari amal baik yang ia kerjakan. John Dewey, seorang filosof Amerika mengatakan kalo desakan yang paling dalam pada sifat dasar manusia adalah hasrat untuk menjadi penting. “Memberi” untuk diakui penting oleh publik.
Saya inget wejangan kyai saya, kalo tak salah, waktu pamitan boyong dari pondok. “Menjadi orang penting itu baik, tapi lebih penting menjadi orang baik.” Saya ingat juga sebuah kalimat yang tak ingat dari mana. “Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negeramu.”
Sama halnya dengan saya. Tapi agak sedikit berbeda. Selama ini saya cuma ingin tenar. Tidak ada (berjalan) aktivitas pemberian.
Untuk saya sendiri, mungkin suka jabatan itu bikin memalukan, bisa buruk (hina).
#nyambung mbuh ora



Rabu, April 03, 2013

Ada Serat (Cinta) dalam Suratku


Dear kekasih.
.           .           .           .           .           .           .           .           .
.           .           .           .           .           .           .           .           .
.           .           .           .           .           .           .           .           .
.           .           .           .           .           .           .           .           .
berkali-kali aku termenung lama di tiap hariku menghalusinasikanmu.
kapan kamu datang untukku?
#15/3/13
Dear kekasih.
Ada rindu untukmu.
Kapan kamu berencana menyapaku?
#16/3/13
Dear Kekasih.
Ini hatiku. Satu untukmu, satu untukku.
Mana satu hatimu yang akan kau pasangkan buatku?
#17/3/13
Dear Kekasih.
Kamu tau? Allah terus saja adil untukku, tapi bukan aku untuk-Nya.
Kiranya kau bisa mengajakku untuk menformulasikan cinta sepenuhnya buat-Nya melalui (mencinta)mu.
#18/3/13

Dear Kekasih.
Mungkin aku terlalu lama tidur bermalas-lemas. Tidak ada semangat dalam hariku. Tidak miliki mimpi untuk diraih, karna tak pernah menyentuh yang namanya mimpi. Mimpi yang ada selama ini cuma halusinansi belaka, bukan imajinasi.
Kuliahku nggak terurus. Hidupku nggak ada warna. Statis. Statis. Statis. Nggak nengok (wacana) alam, nggak nengok literatur. Rasanya aku perlu kamu biar interaksiku dengan dunia menyenangkan. Menarik. Karena aku tak mencintai siapa-siapa dan apa-apa sehingga gairah tak ditemu dalam diriku. Aku perlu kamu.
emm... aku bingung mau memanggilmu apa. Kasih? emm... mungkin di lain waktu aku menyebutmu cinta.
Kasih, hari tadi aku presentasi kuliah ngebahas cinta, atau hubb dalam al-Quran. Cinta tidak sesederhana yang ku tau ya. Kayaknya perlu bersuhuf-suhuf buat mengerti bagaimana saja cinta itu. Kata pakar bahasa yang concern dalam ilmu ma’ani (fan ilmu balaghah) ngomong kalo cinta itu kecenderungan instingtif terhadap suatu objek. Bila rasa itu sudah tertanam kokoh, sababah namanya. Jika terus menggelora dan bergejolak, gharam namanya. Sampai ia benar-benar merindu, isyq’ sebutnya. Lalu ada syaghaf yang artinya cinta nancep begitu kuat. Ketika hal itu mencapai pada titik ekstrim, ini subhanallah... yang ada ta’abbud atau penghambaan diri pada yang dicinta.
Hmm... rasanya pengen ngalamin skema cinta itu. Pasti indah ketemu titik ekstrim: ta’abbud. Tentu saja bukan denganmu, kasih. J Tapi Allah. Kau tidak cemburu, kan. Tentunya dikau sudah mengerti.
Aku perlu kamu untuk mengantarku. Kita sama-sama ya. J
#19/3/13
Dear Kekasih.
Kasih, ada banyak akun di twitter atas nama brokenheart, sakit ati oleh cinta lalunya. Ngomongin kenangan indahnya. Di ujung kalimat, ada ocehan benci dan sedih, di-uleg jadi satu. Aku tak suka liat itu, tapi aku juga ketawa oleh sebagian statusnya yang layak dikatawakan.
Aku tak suka celoteh galau, ngenes dengan cinta, terinjak-injak oleh cinta. Ah mereka saja yang menikmati penderitaannya. Enggan move on. Nyaman pada titik koordinat galau. Aku rasa begitu.
Kasih, aku tak mau seperti itu. Aku tau, kau juga sama tidak menginginkan itu. Aku mau kamu sama aku jadi pilihan seterusnya, satu sama lain senantiasa mencinta, hingga menyandang pengantin dan selamanya bergandengan. Kamu mau, kan. J
Aku menunggumu, tapi jangan lama-lama. J
#20/3/13
Dear Kekasih.
I’m nearly forget to write a latter for you, dear. For this day. Or have did it, coz this midnight already past on 21th of March. Now at 00.51 am, its mean already on 22th of March. So sorry, dear. I’m just eager to watch the movies. It is not mean that women is not more interest than movies. That is another matter, right?
(Aku hampir-hampir lupa nyerat surat buatmu, cinta. untuk hari tadi. Atau sudah lupa, karna tengah malam ini sudah melewati tanggal 21. Sekarang pukul 00.51 WIB, artinya telah berada pada 22. So sorry, dear. Aku bernafsu nonton movie barusan. Ini bukan berarti wanita tidak lebih menarik dari movie. Lain hal kalo itu, ya kan)
Beberapa hari lalu, aku dapati sebuah status yang kurang lebih: “nyatanya wanita tidak lebih menarik dari bola.” kata status di fesbuk seorang perempuan. Mungkin untuk pacarnya. Tentu saja aku tak setuju. Beberapa minggu sebelumnya aku juga ketemu status fb teman cewek (lain lagi) yang menggerutu, berceloteh kalo ia diacuhkan pacar karena lagi nonton bola. Jelasnya ia ingin mengatakan, pacarnya lebih milih dan mementingkan bola daripada dia. “Egois”, kataku
Ini persoalan lain, aku pikir. Pengen-pengen aku komen: “Apa kamu juga mau mengatakan: nyatanya wanita tidak lebih menarik dari makan. Atau: nyatanya wanita tidak lebih menarik daripada pekerjaan. Atau lagi: nyatanya wanita tidak lebih menarik daripada kuliah. Atau lagi: tidak lebih menarik daripada mandi, tidur, ato BAB, sepatu, celana.” Ini lain dari masalah relation antar pasangan/pacar. “memangnya mau, perempuan di-sama-samain sama celana, sepatu, ato BAB?”. Semua benda dan aktivitas itu merupakan sisi lain dari seorang laki-laki, begitu juga perempuan. Mereka butuh semua itu. Hidup itu bukan saja bercinta dengan pacar, kan. Ada makan sebagai kebutuhan, ada pekerjaan sebagai kebutuhan, ada kuliah, sepatu, tidur, BAB sebagai kebutuhan. Termasuk bola juga sebagai kebutuhan. Nonton bola itu kesukaan dan hobi. Hobi itu perlu dalam hidup kita. Karena ia menyenangkan, maka bisa sebagai tombo kejenuhan. Biar nggak bosen, kerja terus, kuliah terus, dan lain sebagainya.
Bukankah begitu? J
Dear, kita bangun cinta dengan saling mengerti. Kalopun satu sama lain nanti ada yang cemburu dengan aktivitas yang masing-masing laku, bukankah itu bumbu roso katresnan kita. J
#peralihan 21 menuju 22/3/13
Dear Kekasih.
30 hari itu lama ya. Rencananya serat surat ini diproyeksi sampai tengah april nanti. Tapi sampai hari ke-8 ini kok rasanya lama. Nggak sabaran. Meski nanti entah bagaimana aku layangkan untukmu. Tapi sebenernya nggak ada niatan untuk melayangkannya sih. Mungkin hanya aku cantelkan di note fb-ku saja dan untuk dibaca siapa saja. Siapa tau . . . kamu membacanya. J supaya kamu segera datang bukan hanya menyapa, tapi selamanya.
Segeralah menghampiriku. Tapi bukan artinya aku tak mau mancarimu.
#22/3/13
Deat Kekasih.
Mataku menangkap-nangkap, cinta. ke sembarang sudut, mengkhayalkan dirimu. Wajahmu ada di wajah mereka. Tidak tanggung-tanggung aku menyorot, tiap perempuan berparas cantik yang aku amati. Tentu saja aku menaruh harapan kamu ada di sana. Selanjutnya bagaimana aku mengambilmu. Kau tak jua ada menghampiriku. Aku bingung dirimu yang mana. Aku tak bisa terus menebak-nebak. Kata seorang teman, “ini urusan hati, tak bisa direkomendasikan, atau urusan selera, tinggal bagaimana kamu mendekatinya,” cobaku mencari jawaban dari  teman.
Ayolah... aku tak bisa menentukanmu. Aku terlalu memilih-milih mana yang pantes untukku ada di dirimu, bukan mana yang pantes dirimu untukku. Aku menginginkanmu (segera).
#23/3/13
Dear Kekasih.
Istirahat dalam kepikiran kamu. Tapi tak istirahat berkhayal kamu. Ada selinap-selinap bayangan di mataku. Entahlah. Tentu saja aku masih berkobaran mengharapmu. Tapi aku istirahat dalam kepikiran kamu.
Kamu tak apa, kan? Baik-baik dulu ya.
#24/3/13
Dear Kekasih.
Aku selalu gagal untuk coba menyapamu. Aku ingin obrolan di dumay (dunia maya), tapi pikirku sebaiknya jangan. Cuma ganggu aktivitas kuliah, katanya. Aku ingin obrol di hape, “sebaiknya jangan” katanya lagi. Bikin lalai sinau nanti.
Aku juga jengkel. Rasa-rasanya ada bejibun hal yang perlu diketahui. Dan itu melalui belajar yang semestinya menyita waktu. Tapi aku selalu gagal juga. Biasanya aku bingung karena kebanyakan kajian. Tapi parahnya, uniknya, ujung-ujungnya nggak pernah jadi untuk baca (belajar) oleh karena kebingungan itu. Akhirnya, waktu yang sia-sia.
Cinta, gimana ini?
#25/3/13
Dear Kekasih.
Maaf, cinta. semalem hampir semaleman aku tidur: sedari jam 7 sampek jam 5. Tentu saja belum isya’an. Tak ada yang membangunkan untuk tanya: “bug bug bug. Zam, sudah shalat isya’?” sebenernya sempat melek (entah jam berapa), tapi kembali tepar. Ah, secapek apa aku? Tadinya cuma ngantuk saat nderes, tapi kuat-kuatnya sampek 10 jam. Tidur apa semaput itu?!
Maaf, cinta. begini lah kesemrawutan hidupku. Aku mulai nggak bisa ngatur diri. Barangkali ada banyak dosa. Maaf...
Kemaren sore, aku sempat membayangkan: Guru anak-anak (TK) itu menyenangkan ya, pinter bergaul dengan bocah-bocah, bisa menarik mereka. Aku jadi pengen istriku itu guru TK.  Tentu ia akan lihai berobrol gaul dan menarik dengan siapa saja. Orangnya asyik pastinya. Tapi bukan bermaksud kamu harus jadi guru TK, cinta. Cukuplah jadi dirimu sendiri. Kalau kau pandai bergaul dan membuat anak-anak tertarik, mengapa tidak?
Dear kekasih.
.           .           .           .           .           .           .           .           .           .
#26-27/3/13
Dear Kekasih.
Aku mulai bingung mau nyerat apa buat kamu. Yang jelas, aku tak sempat (pernah) bingung untuk merindukanmu.
#28/3/13
Dear Kekasih.
Kali kedua aku ngopi di warung kopi. Biasanya, aku lebih suka nyeduh kopi sendiri di atas ranjang (menikmati secara pribadi). Tentu saja hal itu lebih murah, di luar bisa berkali lipat dari biaya ngopi sendiri. Tapi tak apa sesekali di warung kopi sambil biar tahu sosial interaksi kaum muda jogja lingkup warung kopi.
“biar tahu” bukan saja biar tahu, tapi perlu. Kita perlu tahu dunia orang lain, itu muthlak diperlukan. Masuk di dunia mereka itu perlu, bukan ekslusif hidup di egosentris sendiri. Main kartu dan umpatan, pahami saja pikirannya atau ambil nilainya.
Begitu kan, cinta... kita nggak perlu sok-sok’an nggak nimbrung ke bukan dunia kita. Kita perlu paham dunia orang lain supaya tidak salah paham dengan hidup orang lain.
Selama ini aku egois, melakukan duniaku sendiri, mengerjakan tugasku sendiri, padahal aku perlu orang lain, nggak bisa jalan sendiri, tapi maksain diri melaku sendiri-sendiri. Ah aku pinta kamu saja buat temani aktivitas kerjaanku, aku malu minta ajar teman-temanku.
Eh, aku salah ya ambil sikap. Duuh...
#29/3/13
Dear Kekasih.
Cinta, aku sempat berpikir untuk membuat jeda seratan surat ini. “Menunda”, bahasa lainnya. Maksudku, sementara aku mendek buat ngelanjutkan seratan surat ini. Rasanya ada banyak tugas yang memaksaku untuk memberi perhatian lebih, karena kalau nggak begitu, “teter” kuliahku. Gimana menurumu?
Tidak usah kau khawatir, selalu ada semayam pikiran tentangmu di sela aktivitasku.
#30/3/13
Dear Kekasih.
. . . di sela-sela aktivitasku, hari ini, sore ini, setelah membuka mata dari qailulah, rasanya amat sangat merindukanmu, cinta. . . sangat terasa. Ada pada titik kerinduan yang teramat sangat.
#31/3/13