BEHEL FASHION

Lihat yah ^^

OPAC UIN SUKA

Nyari buku di Perpus UINJOG

FACEBOOK

Tampang fb gua!

POETRY

Senja Di Pantai

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, Desember 31, 2011

DUKUNGAN PESTA TAHUN BARU


Menjadi suatu hal yang biasa kala tahun baru terselenggara sebuah perayaan. Belahan-belahan dunia secara serentak melaksanan prosesi pesta untuk merayakan tahun baru. Berbagai model pesta digelar dimana-mana dengan pertunjukan kembang api, konser, dan sebagainya. Bahkan di titik-titik kota, pergelaran acara dalam perayaan tahun baru sampai besar-besaran.
Hal tersebut menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menghibur bagi penduduk dunia pada umumnya. Namun oleh satu kalangan, hal demikian dianggap buruk karena terdapat unsur penghambur-hamburan uang untuk sesuatu yang sia-sia. Terlebih dalam pandangan ulama islam yang melihatnya sebagai kemaksiatan oleh sebab polah manusia yang buruk dalam pesta, disamping adanya perayaan tersebut mengandung unsur ishraf.
Kekontranan mereka dengan adanya perayaan tahun baru ditimbulkan karena pesta dikatakan terlalu banyak dana yang dihabiskan untuk penyuksesan pesta. Menurut mereka, akan dirasa lebih baik jika dana tersebut dibagi-bagi kepada orang miskin, anak yatim, dan orang-orang tak mampu. Terlebih kepada rakyat Indonesia yang masih terpuruk masalah kemiskinan, dana tersebut bisa digunakan untuk membantu mereka.
Memang benar hal demikian menguntungkan di satu sisi, karena adanya pesta ialah menghibur manusia, namun di sisi lain dirasa merugikan bagi orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan. Namun perlu diketahui, semua barang dalam perayaan pesta disiapkan dari membeli produksi masyarakat, baik barang maupun jasa, dimana hal tersebut --bisa dikatakan-- termasuk upaya menanggapi kesejahteraan rakyat dan pengentasan pengangguran dan kemiskinan.
Menurut saya, perayaan tahun baru dengan menggelar pesta bisa menjadi baik untuk semua pihak. Adanya pesta tidak merugikan orang miskin, namun sebaliknya, ia bisa menjadi menguntungkan untuk mereka. Dikatakan menguntungkan, dengan syarat jika parayaan pesta melibatkan meraka yang miskin. Maksudnya, barang-barang yang diperlukan untuk pesta --berupa alat, makanan, minuman, dan jasa-- bisa meminta orang miskin untuk ikut andil dalam membuatnya. Partisipasi warga miskin ditonjolkan dalam hal ini.
Selain itu, kaum miskin sendiri dapat menciptakan kreasi untuk bisa digunakan dalam penyuksesan pesta. Mereka bisa membuat barang dan jasa dengan dibantu kaum-kaum kompeten. Tentunya instansi atau pemerintah dapat menyuguhkan dan menyediakan bantuan dana untuk usaha itu. Dengan demikian, perayaan tahun baru dengan pesta, meski besar-besaran, bukan menjadi penghibur manusia satu kalangan saja, tetapi ia juga bisa menjadi kebahagiakan bagi kaum miskin.

Kamis, Desember 22, 2011

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir–bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.
Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kita dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.
Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.
Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.
Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

:+: Khalil Gibran :+:

Rabu, Desember 21, 2011

Gangguan Handphone Terhadap Anak Muda


            Anak muda mana yang sekarang tidak punya handphone? sama sekali tidak pernah memegang handphone? Atau memang ada yang tidak punya, karena tidak ada uang. Tapi setidak-tidaknya mereka sudah pandai memainkan handphone. Semiskin apapun anak muda, ia tidak gaptek untuk sekedar main-main handphone, entah dari meminjam teman atau siapa.
            Realitanya bukan hanya remaja yang dimana-mana menggenggam handphone, bahkan bocah SD-pun ikut-ikutan bermain handphone. Kiranya ini kemajuan atau sebuah efek dari kecanggihan zaman. Wireless Intellegent pada tahun 2009 melansir, Indonesia adalah pengguna handphone terbanyak keenam di dunia dengan jumlah 116 juta jiwa. Dalam perkembangannya, saat ini pengguna handphone mencapai kisaran 125 juta dari 238 juta penduduk indonesia. Namun dikatakan, telah terdaftar 180 juta nomor ponsel yang tersebar di masyarakat. Ini menandakan masyarakat indonesia banyak menggunakan ponsel lebih dari satu.
Terjadi sedemikian rupa, karena handphone sudah menjadi kebutuhan primer untuk saling kontak satu sama lain dalam kelancaran sebuah usaha. Didukung dengan harga handphone yang berbeda dengan keadaan dulu dimana ia adalah barang tersier yang tentunya hanya bisa dimiliki oleh orang-orang elit, sekarang ini gampang diperoleh masyarakat dengan tawaran harga yang terjangkau. Apalagi produk China yang menyerbu pasar ponsel Indonesia akhir-akhir ini, ia menawarkan handphone murah dengan fitur lengkap. Berangkat dengan uang 300 ribuan saja, masyarakat dapat memboyong pulang sebuah handphone berkamera dengan fitur internet, pemutar mp3 dan video, dan sebagainya.
            Bermula dari kebutuhan masyarakat dan harga yang relatif murah itu, secara tidak sengaja menyebabkan anak muda berkeinginan untuk memiliki. Apalagi tawaran fitur lengkap handphone yang sedemikian asyik, menggiurkan mereka untuk bisa menggunakan dan tampil gaya. Nah, ini yang menjadikan handphone merata dimiliki anak muda, remaja, sampai seorang bocah SD.
            Telpon, SMS (short messege service), internet, pemutar musik dan video, ialah sekian fitur handphone yang digandrungi anak muda. Mereka gemar untuk berkirim SMS, berinternet ria, dan memutar mp3. Hal yang paling asyik bagi anak muda ialah ketika berkontak komunikasi dengan lawan jenis.  Berjam-jam menelponpun betah, hingga ratusan SMS terlontar tak terasa untuk sekedar ngobrol. Malah dengan adanya facebook, twitter, atau jejaring lain yang mudah diakses melalui handphone, membuat mereka semakin asyik berkontak ngobrol dengan ratusan temannya. Itu sudah menjadi perihal yang biasa bagi anak muda.
             TNS, sebuah perusahaan spesialis riset pasar, mempunyai data-data yang cukup menarik tentang perilaku pengguna handphone di Indonesia. Ia mengungkapkan, SMS ialah fitur yang paling sering digunakan disusul internet dan musik. Pagi hari saat sarapan, sore hari sekitar jam 3 sampai 6 sore, dan malam hari adalah waktu dimana handphone paling sering digunakan. Namun bukan cuma pada waktu iu, kapanpun dan saat apapun, tampaknya anak muda selalu berkutat dengan handphone. Bahkan bagi kalangan mahasiswa, pasti ada waktu sela untuk berhandphone ria kendati saat di kelas. Setiap polah, dalam situasi apapun, anak muda masih sempat bermain handphone dalam kesibukannya.
            Memang hal demikian sah-sah saja dilakukan anak muda, namun menjadi sebuah permasalahan ketika aktivitas itu tidak dikontrol. Artinya, mereka terlepas menjadikan aktivitas SMS-an dan internetan sebagai rutinitas yang secara berlebih-lebihan dilakukan. Sangat ironi terjadi pada anak muda, karena kewajiban pokok berdampak kalah dengan rutinitas berkontak komunikasi itu. Terutama bagi anak muda kalangan pelajar dimana kewajiban esensial (belajar) terganggu dengan hadirnya aktivitas tersebut.
            Tidak mengapa ketika handphone tak mengusik dan mengganggu aktivitas wajib, tetapi ia mendukung sebuah pekerjaan sebagaimana fungsi substansial handphone yang membantu usaha memenuhi kebutuhan seseorang. Dalam hal ini, anak muda bisa memanfaatkan handphone sebagai pendukung kelancaran pekerjaannya. Kalangan siswa dan mahasiswa bisa mengkomunikasikan pelajaran dan berdiskusi melalui handphone, bukan sekedar obrolan yang tanpa manfaat. Bolehlah ngobrol sebagai sisipan diskusi untuk hiburan, bukan sebaliknya, menjadikan diskusi sebagai sisipan dalam obrolan yang sering kali melenakan anak muda sehingga betah ngobrol ngalor-ngidul tak ada guna secara terus menerus.
            Dengan fitur layanan internet, handphone bisa lebih dimaksimalkan untuk surfing dan browsing memperkaya pengetahuan. Atau bila menyukai jejaring sosial, mereka juga bisa menkomunikasikan informasi untuk pengetahuan tambahan. Berdiskusi, saling tukar informasi, share dan salin menyuguhkan solusi, cukup asyik dalam obrolan dan bisa lebih mencerahkan pikiran. Dengan demikian, handphone bukan lagi sebagai pengganggu yang tidak disadari, melainkan bermanfaat sebagai pendukung untuk pekerjaan anak muda.

Sabtu, Desember 17, 2011

Aliran Aliran Modern Dalam Islam


Judul               : Aliran Aliran Moderen Dalam Islam
Penulis             : Hamilton Alexander Rossken Gibb
Penerbit           :  Raja Grafindo Persada
Tahun Terbit    : 1993
Judul Asli        : Modern Trends in Islam
Penerjemah      : Drs. Machnun Husein
       I.            Pendahuluan
a.       Mengapa memilih buku ini
Memandang perkembangan islam dimana muncul aliran-aliran modern yang berbeda dengan dulu, dan terjadi kontra antara kalangan ulama kuno dengan kalangan modernis, kiranya perlu adanya pengkajian faktor penyebab hal itu. Dalam hal ini, H. A. R Gibb dengan “Aliran-aliran Moderen dalam Islam” bisa menjadi rujukan untuk mengetahui seperti apa dan bagaimana aliran modern islam tersebut dibawa oleh kalangan modernis.
b.      Tujuan Pembahasan
Mengetahui historisitas kemunculan aliran-aliran modern islam.
Mengetahui bagaimana dan seperti apa aliran-aliran modern islam.
c.       Outline
Dalam bukunya “Aliran-aliran Moderen dalam Islam”, H.A.R. Gibb menjelaskan pada pembahasan pertama tentang dasar-dasar pemikiran islam. Sebagaimana yang kita ketahui dan kita akui bahwa umat islam mendasarkan pemikirannya kepada Al-Qur`an, kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang diakui umat islam sebagai firman Allah. Kemudian hadits sebagai rujukan kedua, diikuti ijma’ dan ijtihad. Namun dasar pemikiran yang terakhir ini mengikis setelah timbul kekhawatiran ulama’ ortodoks (kuno) dengan adanya penafsiran subjektif dan menyebabkan perpecahan.
Gibb, pada pembahasan kedua, membicarakan ketegangan yang terjadi dalam islam pada abad 18-19. Diawali permasalahan mutakallimun --yang telah terpengaruh filsafat yunani—ingin memadukan agama dengan filsafat. Mereka tidak diperbolehkan mempermasalahkan kebenaran-kebenaran agama yang seharusnya dipertahankan. Dalam hal ini, ulama’ mengharapkan ilmu kalam harus secepatnya berhenti. Akan tetapi mereka masih berjalan terus, sehingga akibatnya umat islam menjadi goncang antara berhenti dan lanjut mempelajari ilmu kalam. Mengenai hal tersebut, mutakalillimun berargumen bahwa mereka mengganti ajaran alam semesta (kosmologi) dari pemikiran spekulatif yunani dengan ajaran-ajaran positif dari al-Qur`an, jadi semua pemikiran yunani terlepas dari dalam teologi (ilmu kalam).
Muncul ajaran sufisme dari mutakallimun yang masuk ke dalam panteisme, yaitu  aliran monis yang menyatakan imanensi-Nya dalam setiap bagian alam semesta. Oleh sebagian ahli kalam menganggap paham ini menyimpang dan tidak sejalan dengan ajaran transendental dari al-Qur`an. Terdapat reaksi oleh gerakan wahabi yang bersikap keras dan tidak toleran terhadap peribadatan-peribadatan yang sudah diterima umat dari paham sufisme tersebut. Ia menganggap mereka telah mengingkari ajaran transendental yang murni dan melepaskan status mereka sebagai mukmin.
Selanjutnya, wahabi dimana mengusung paham pembaharuan teokratik evolusioner yang menentang islam “murtad”, dianut oleh gerakan-gerakan pembaharuann di India, Libya, Turki, Mesir, dan sebagainya. Dorongan pemikiran teokratik evolusioner juga menjadi landasan kegiatan tokoh-tokoh kebangkitan kembali islam, seperti Jamaludin al-Afgani yang membawa gerakan Pan-Islamisme, Muhammad Abduh yang mereformulasi gerakan al-Afgani dengan memisahkan antara unsur agama dalam gerakan pembaharuan dengan pengaruh-pengaruh emosional dalam program revolusioner.
Bagian ketiga, Gibb memaparkan prinsip-prinsip modernisme. Modernisme sendiri pada umumnya merupakan produk dari pengaruh-pengaruh Eropa. Pada abad ke-19, pandangan dari kaum terpelajar yang telah dijangkau pemikiran modern cenderung menyatakan Tuhan itu imanen, bukan transenden. Ini diperkuat dengan konsep evolusi mereka. Dengan gagasan evolusi, mereka pula menyatakan bahwa untuk mendapatkan pengertian yang benar tentang ide apapun, sistem harus ditempatkan pada apa yang berlaku sebelumnya dan dilihat sebagai bagian dari proses pertumbuhan yang berjalan secara berangsur-angsur. Dan kemudian muncul sikap menyelaraskan dunia dan peradabannya ke arah imanentisme.
Gibb mengatakan prinsip esensi dalam modernisme adalah prinsip protes terhadap hak untuk mengkaji secara bebas sumber-sumber islam. Mereka ingin menerapkan pemikiran modern dalam penafsiran mereka dan tidak lagi ikut konstruksi-konstruksi ajaran yang dirumuskan para ulama dan fuqoha` terdahulu.
Berikutnya, dalam pembahasan “Agama Kelompok Modernis”, terdapat kelompok apologetika (kelompok yang membela dan membuktikan kebenaran yang sudah diyakininya sebagai suatu yang benar) mengesampingkan masalah-masalah yang bersifat fundamental dan memusatkan diri pada persoalan pokok, yaitu kesempurnaan al-Qur`an dan kesempurnaan pribadi Muhammad. Bagi generasi muslim modern, secara esensial menuntut penafsiran kembali secara utuh yang menekankan kebenaran kandungannya bukan kebenaran spiritualisnya. Oleh karenanya, mereka membuang cara penafsiran ulama terdahulu.
Pribadi Muhammad sebagai pokok pusat persoalan kedua, memberikan etos khas kepada kelompok modernis dalam kadar yang begitu besar sehingga tidak hanya terbatas pada kelompok moderis semata, tapi praktis diikuti oleh seluruh umat islam juga. Pengaruh utama modernisme diarahkan untuk mengganti penyembahan Muhammad secara emosional dengan ajaran agama yang didasarkan atas pertimbagan rasional dan yang efektif secara spiritual.
    II.            Biografi Tokoh
Sir Hamilton Alexander Roskeen Gibb dilahirkan di Alexandria Mesir pada tanggal 2 Januari 1985 M. Ayahnya, Alexander Grawford Gibb adalah putra John Gibb dari Gladstone, Renfrenshire Scotland yang pada waktu itu menjadi manager pertanian untuk Aboukir Land Reclamation Company. Sesudah ayahnya meninggal tahun 1897, ibunya Jane Ann Gardner yang berasal dari Greenock Scotland berangkat ke Alexandria dan bekerja sebagai guru di Church of Scotland Girl's School.
Hamilton dalam usia lima tahun dipulangkan ke Scotland untuk memasuki sekolah dasar. Sesudah belajar empat tahun maka dia memasuki Edinburgh High School tahun 1904 dan terus belajar disana sampai tahun 1912. Dalam waktu yang cukup lama ini, dia dua kali pergi ke Mesir untuk menikmati liburan musim panas. Di samping belajar di sekolah, dia juga menambah pengetahuannya dalam mata pelajaran bahasa Pernacis, Jerman dan Ilmu Alam. Pada tahun 1912 dia memasuki Edinburgh University dan pada tahun pertama di universitas tersebut terdapat mata pelajaran bahasa-bahasa Semit, Hebrew, Arab, dan Aram. Profesor dalam mata kuliah bahasa Hebrew A.R.S. Kennedy merupakan guru besar yang sangat baik bagi Hamilton, sedangkan bahasa Arab hanya diajarkan oleh seorang lektor yang masih muda bernama Edward Robertson (untuk selanjutnya menjadi guru besar dalam mata pelajaran bahasa-bahasa Semit di Manchester) yang merupakan mata pelajaran yang belum begitu mendapat perhatian. Pada tahun 1913, ibunya meninggal dunia ketika dia masih berada ditingkat II Universitas Edinburgh. 
Pada waktu itu, Universitas Edinburgh sebagaimana universitas-universitas lain di Inggris mempunyai suatu seksi tempat melatih perwira-perwira militer, terutama dalam bidang artilery. Hamilton mengajukan lamaran untuk bidang ini dan diterima untuk dilatih sebagai perwira artilery. Sewaktu pecah perang dunia pertama tahun 1914, mereka yang mengikuti latihan artilery dimasukan ke dalam kesatuan artilery Officers' Training Unit sebagai instruktur dan terus bertugas disana sampai dia dipindahkan ke South Midland Brigada yang didalam tugas ini, ia berangkat ke Perancis pada bulan Februari 1917. Dia bertugas sebagai anggota angkatan perang disana dan di Italia sampai perang berakhir tahun 1918.[1]
Setelah perang, Gibb melanjutkan studi tentang Arab di School of Oriental and African Studies, London University. Memperoleh gelar MA tahun 1922 dengan tesis “Arab Conquests of Central Asia”. Dari tahun 1921 sampai 1937 mengajar tentang Arab pada School of Oriental Studies dan menjadi profesor di sana pada tahun 1930. Selama waktu itu, ia menjadi editor Encyclopaedia of Islam.
Pada 1937, Gibb dinobatkan oleh D. S. Margoliouth sebagai Laudian Professor of Arabic dengan kenggotaannya pada St John’s College, Oxford, dimana ia tinggal untuk 8 tahun. Bukunya, Gibb’s Mohammedanism dipublikasikan tahun 1949, menjadi teks dasar yang digunakan oleh pelajar barat tentang islam. Di tahun 1955, Gibb menjadi “The James Richard Jewett Professor of Arabic” dimana gelar kehormatan ini dianugrahkan kepada ilmuwan pilihan. Belakangan, selain sebagai profesor di Harvard University, ia menjadi direktur Harvard Center For Middle Eastern Studies dan memimpin “The Movement in American Universities” untuk mengatur pusat pengkajian wilayah, besama para pengajar, peneliti, dan pelajar yang berbeda disiplin dalam studi budaya dan masyarakat sebuah wilayah di dunia.[2]
Hamilton Alexander Rossken Gibb adalah seorang tokoh orientalis terkemuka, terutama sehabis Perang Dunia Kedua (1939-1945). Banyak karyanya mengenai Islam, Baik bersifat makalah maupun buku. Karyanya berjudul Mohammedanism, yang telah disitir sebagian ungkapan didalamnya, amat terkenal dan berpengaruh kuat sekali dewasa ini, terpandang sebagai buku yang dinamik dan menarik untuk ditulis ulang oleh sarjana terkemuka (dynamic and interesting volume written by a noted scholar).[3]
Pemikiran Gibb sendiri lebih menfokuskan kepada tradisi Islam dari nabi Muhammad atau sunnah nabi yang di anut oleh kaum ortodoks. Karya umum Gibb tentang Islam lebih banyak mengenai hal-hal yang bersifat metafisika, seperti kegiatan kesufian dan lain-lain. Karya Gibb dapat dikritisi dalam kendala-kendala metafisika yang ia temui, yang menurutnya bahwa kemunduran pemikiran Islam karena menyukai pemikiran-pemikiran sufistik dan mistis, seperti di dalam karya-karyanya di Modern Trends In Islam dan Muhammadanisme. Gibb lebih suka menyebut Muhammadanisme karena menurutnya Islam sebenarnya didasarkan pada suatu gagasan estafet kerasulan yang diakhiri oleh Muhammad.[4]
Gibb sangat masyhur karena karya-karyanya dinilai bermutu tinggi. Tiga bidang yang menjadi pusat kajian Gibb adalah sastra Arab, sejarah Islam, dan pemikiran politik keagamaan dalam Islam. Diantara karya-karyanya ialah:
a)     Mohammedanism An Historical Survey
b)    Studies on the civilization of Islam 
c)     Islam A Historical Survey
d)    The Conquests in Central Asia, dll.
 III.            Metode dan Pendekatan
Tampak dari bukunya “Aliran Aliran Modern Dalam Islam”, metode yang digunakan H.A.R Gibb dalam meneliti aliran-aliran itu adalah bersifat eksploratif deskriptif. Ia mendiskribsikan secara mendalam tentang dasar pemikiran islam, ketegangan yang terjadi dalam islam, prinsip-prinsip modernisme, agama kelompok modernis, dan seterusnya dengan menggunakan data-data pustaka. Ini terlihat pada banyak catatan-catatan kaki yang merujuk pada bulu-buku, baik dari kitab islam sendiri maupun buku para orientalis. Sedang pendekatan yang digunakan bersifat historis, yakni ia memaparkan semua bahasan  dalam bukunya dengan dukungan data-data historis.
 IV.            Pokok-Pokok Pemikiran Tokoh
Mengenai pengakuan umat islam terhadap al-Qur`an sebagai dasar pemikiran, Gibb menilai bahwa itu bukanlah sekedar dogma teologik yang diwariskan turun-temurun selama beratus-ratus tahun. Sebaliknya, ia merupakan keyakinan hidup yang senantiasa memberikan kehidupan baru dan tertanam mendalam di hati dan pikiran umat islam, sehingga ia dijadikan sebagai landasan pemikiran islam.
Menurut Gibb, hadits mencerminkan pemikiran Muhammad, karena hadits secara keseluruhan digunakan untuk mengesahkan pandangan ulama dahulu, sehingga banyak madzhab modernis menolak otoritasnya. Konsepsi islam tentang kesepakatan yang memiliki otoritas (ijma’) tidaklah konsisten terhadap asas islam yang menyatakan behwa demokrasi spiritual islam bersifat total. Sedang dalam ijma’ memerlukan kesepakatan dari hierarki tertentu.
Terhadap sikap kalangan modernis yang menolak adat ibadah umat islam warisan ulama terdahulu, Gibb memandang mereka dilumpuhkan oleh kontradiksi intelektual dalam dirinya dan diselewengkan oleh nafsu yang berlebihan sehingga menjadikan dirinya bersikap apologis. Mereka terlalu gegabah mamahami adat kebiasaan umat. Kepada ulama, Gibb juga memandang bahwa sikap mereka tidak terkait dengan pemikiran masa kini. Argumen-argumen mereka tidak meyakinkan karena bahasa yang digunakan bercorak kuno, asing di telinga dan mata, terkesan mereka tidak membawa pesan untuk kepentingan masa kini.
Warisan keagamaan islam terancam oleh tiga kekuatan dari dalam islam sendiri, yakni menempatkan duniawi serta utilitarian sebagai pengganti ajaran transendental, menempatkan tuhan palsu di samping Allah dalam bentuknya yang lunak dan terasa tidak berlawanan dengan pemikiran islam, kemudian menganggap kebenaran dapat ditegakkan dengan kekerasan.
Gibb menyatakan islam adalah agama yang hidup dan vital, yang menghimbau hati, akal dan kesadaran puluhan dan ratusan juta manusia, yang memberikan mereka nilai-nilai yang baku agar dapat hidup jujur, dapat mengendalikan diri dan takut kepada Tuhan. Bukan islamnya yang beku, melainkan formulasi-formulasi ajaran ortodoksnya, teologi sistematiknya, dan apologetik sosialnya. Ada kesalahan penempatan yang ditemukan pada pengikutnya, yang menyebabkan islam dipandang sebagai ajaran yang beku.
Para ulama terlalu cepat menerima aspek-aspek negatif filsafat Yunani. Padahal ada segi positifnya dimana teologi islam dapat diformulasikan. Melalui teologi (ilmu kalam), pemikiran islam dapat diselamatkan dari bahaya pemikiran romantik, yaitu intuitif dan imajinatif murni terhadap persolan-persoalan. Dan di sini lah pemikiran ortodoks berhenti dan terjadi pembekuan ajaran. Tentang kegagalan untuk maju, Gibb mengatakan bila hal itu disebabkan oleh penempatan metode dan pemikiran historik di bawah dogma keagamaan.
    V.            Analisis Terhadap Tokoh
Menilik buku “Aliran-aliran modern dalam islam”, H.A.R. Gibb memang telah berstudi islam. Ini tampak dari tulisannya yang secara objektif membahas keadaan islam dan orang-orangnya yang konservatif dan modernis membawa islam. Ia menyuguhkan data-data faktual mengenai dasar islam, ketegangan islam, prinsip modernis, dan pemikiran ajaran kelompok modernis yang terjadi dan berkembang dalam kurun abad 14-19.
Kendati ia beragama kristen, Gibb tidak lantas membela agamanya yang oleh kelompok konservatif mengatakan bahwa modernis ialah kembangan pemikiran dari kristen. Ia berdiri secara objektif mengkritik pihak islam sekaligus kristen sendiri. Pemaparan penilaian dalam bukunya mengatakan data-data yang bisa dibuktikan kebenarannya.
 VI.            Kesimpulan
Aliran modern islam muncul dari kalangan modernis yang ingin menerapkan penafsiran al-Qur`an secara bebas dengan pemikiran modern mengikuti perkembangan masa tanpa lagi ikut konstruksi ajaran ulama terdahulu yang dianggap keliru cara peribadatan-peribadatanya yang cenderung sufisme.
VII.            Daftar Pustaka
Souyb, Joesoep. Orientalisme Dan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Said, Erward W. Orientalisme terj. Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Umar, A. Muin. H.A.R. GIBB (1895-1970), Jurnal/Journal from digilib-uinsuka,
Wikipedia, the free encyclopedia. Hamilton Alexander Rossken Gibb.


[1] A. Muin Umar, Jurnal/Journal from digilib-uinsuka,  “H.A.R. GIBB (1895-1970)” (diaksess pada 04 Januari 2012); dari
[2] Wikipedia the free encyclopedia, “Hamilton Alexander Rossken Gibb” (diakses pada 10 Desember 2011); dari

[3] Joesoep Souyb, Orientalisme Dan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985) hlm. 115
[4] Erward W. Said, Orientalisme terj. Achmad Fawaid, (Bandung: Pustaka, 2001) hlm. 367