Minggu, November 06, 2011

Ber-Adha di Kota Pelajar: Jogja

                Terhitung kali kedua aku beridul adha di luar kota asal. Pertama di kudus, lalu kali ini di kota belajarku, yogjayakarta. Bermula dari waktu libur kampus yang cuma tiga hari (sabtu, ahad, senin), yang kemudian lansung berlanjut Ujian Tengah Semester (UTS), rasanya terlalu singkat untuk dibuat mudik pulang kampung. Oleh karena itu, aku memilih untuk berdiam anteng di pondok saja to prepare the exam (sebenarnya, secara pribadi aku juga belum berkeinginan pulang). Namun tidak, ternyata bukan belajar bersiap buat UTS, malahan tersibukkan dengan macam kegiatan-kegiatan (ndak terlalu sibuk sih, cuma ikut berpartisipasi aja dengan acara).

                CSS MoRA, sebagai organisasi mahasiswa PBSB yang secara otomatis telah menjadikan aku bagian dari mereka, karena posisi diri ialah asuhan Kemenag, mengadakan pengajian dan takbir keliling di masjid desa Pandak (kalau tidak salah), daerah Bantul bersama masyarakat setempat. Oleh sebab aku bersama kawan-kawan ada motor, maka dianjurkan untuk ikut acara tersebut. Cukup jauh lah untuk sampai di desa pandak, butuh kurang lebih satu setengah jam menempuh kisaran 40 KM dari pondokku, Diponegoro, desa Sembego, Maguwoharjo, Depok, Sleman.
                Berangkat selepas Ashar, sampai lah setengah jam sebelum maghrib di sana. Tak terlalu lama buat nunggu maghrib. Datang, duduk, mendengar ceramah (separuh jalan), doa, lalu berbuka bersama (karena kebetulan berpuasa Arofah). Takbir bersama kakak-kakak mahasiswa antara magrib-isya`, dan keliling takbiran bareng adik-adik desa setempat.
                Alhamdulillah, acara dicukupkan jam 9 lebih sehabis berame-rame takbir keliling yang lumayan me-megel-kan kaki. Agaknya perut terasa berkencot-kencot (baca: ngelih atau laper) karena ini, bukan cuma aku, tapi mereka (teman) juga. Sebab itu, tak perlu berlama-lama, kita tancap gas. Namun malang yang tak bisa dihindari mampir pada ban motor. Di deket Benteng Kulon, Buhh! Ban meletus di tengah bersalip-salipan dengan mereka. Walhasil, tertinggal lah!. Cleret, ret, ret! 30 ribu uang keluar buat ganti ban. Tak apalah! (Allah masih sayang).
                “Temen-temen menunggu di alun-alun.” Syukur lah mereka baik, setia kawan, mau menunggu. Kita di alun-alun nyempetin nge-mie dan nge-bakso, karena –seperti telah dikatakan tadi- perut udah berkencot-kencot ria (lapar: bahasa ngapak). Ffhuich!
                Serampung ngelahab mangkuk, menunggang motor, roda baru menggelinding sebentar, hujan turun dan semakin deras, mengharuskan kita berteduh. Lumayan membosankan menanti mandeg-nya hujan, tak sabar, melihat keadaan yang tampak sedikit reda, memaksaku untuk ajak mereka menerjang hantaman hujan dan colekan hawa. Bbbrrr! Dingin. Basah kuyub (ndak terlalu sih) jadi resiko sampai di pondok. Tepat pukul 11, (kayak’e). Tak langsung bubuk, masih nyempetin takbiran hingga bertahan kurang dari dua jam.
                Keesokan hari, melek jam 05.39 (entah masih ada` atau qodlo`). Mandi terus ke masjid. Huh! nyesel juga beranjak terlebih dulu dari masjid. “Jika aja diem dulu di mesjid, dapet sarapan deh.” Dalam sikon perut lapar, ngiler melihat orang-orang di masjid disuguhi sarapan. “Astaghfirullahal’adzim, tamak!”
                Menonton 7 sapi dan 13 kambing buat qurban. Cukup banyak dibanding di mushola desaku (iya iya lah, mesjid dibandingin mushola, yah ndak setara). Aku miris tak tega memandang qurban disembelih, hanya ngumpet dari kerumunan. Kriiing... sms ngoceh, “Nie lgy ngapain?”. Weh weh weh... aku digodain adek-adek cewek. Entah siapa aku tak ngerti, tapi ku bisa menebak itu bocah TPA Al-Husna. Yah ndak apalah, toh udah jadi resiko orang cakep digodain. Hagagaga...
                Emang dasar nggak doyan makan daging, jangankan makan, megang aja jijay, jadi cuma bantu ngeliat aja. Tapi karena ewuh sama anak-anak pondok dan temen, ku bantu kipas-kipas aja untuk santapan sate mereka. Maksudnya, ikut andil ngipasi bakar sate tanpa memegang daging (karena jijik). Fuich!
                Ehm, tak disangka, seorang aku yang dari kecil (bahkan bayi) tak pernah megang dan makan daging, entah wedus, sapi, kebo, (bukan tak pernah sih, kalaupun pernah itu karna dipaksa dan terpaksa), tiba-tiba bisa nyomot ngelahab sate kambing hingga bernafsu. Masya Allah... sejarah seorang Azzam doyan daging telah tertulis. “Yah, syukur lah, kalo gini kan, besok-besok bisa bantu ngabisin sate-sate di rumah. Hagaga...”

1 comments: