Rabu, Desember 19, 2012

Bukan Tak Mampu, Tapi Tak Mau

Kuliah, rumah, tugas, tanggungan: tidak banyak mikirin mereka, malah aku abaikan semua. Otakku terlanjur kena infeksi wanita. Belum, belum, belum. Bukan gila gandrung terhadap kekasih, tapi stres mikirin wanita idaman yang tak kunjung ketemu.


Cantik...
ah, tengok kanan kiri pun nampaknya sudah berlabel “berkepemilikan”. Rasanya mustahil perempuan cantik di era sekarang tidak dipunyai orang atau memiliki pasangan (atau bahasa mudanya: gebetan). Perhatikan saja sekelilig. Nah, mana ada kan...
Cantik muka memang menjadi bahan awal untuk menarik perhatian sehingga membuatku melirik (dan lebih lanjut menggaet) seorang wanita. Ia menjadi perihal utama. Namun berikutnya, membuatku belok dan balik ketika cantik muka tak sinkron dengan cantik polah tingkah, cantik pikiran, cantik tutur dan seterusnya. Aku membuang niat kalau begitu.

Hiyuh, imposible kata teman jika inginku demikian. Bahasaku, “elit” mengistilahkannya: minta perfect. Lebih-lebih tambahan kriteria yang harus “orisinil” pada sosok perempuan. Maksudnya, belum pernah disentuh. Maksudku, dia belum pernah dipunyai orang atau dipacari orang. “Biyuh, mana ada?” Tentu ada lah. Tapi menimbang pangkat yang nempel di sandangan bagian dada atau lengan, memangnya ada label orang ganteng? orang pinter, orang santun, orang apik, terlebih orang “beragama”? seluruhnya aja ngepres (pas-pasan sangat), mau ngimpi perempuan perfect, ya cuma banggok di angan-angan lah. Tak heran angan-angan itu terus berputar di kepala bersama kicau-kicau emprit yang mengusik dan mengganggu dari kegiatanku, perihal yang mestinya aku tatap dan sorot (kuliah misalnya), namun dialihkan oleh bayang semu (weish... yaelaaah).

Sampai detik ini (entah sedari kapan. lama rasanya), mungkin langkah keinginan ini terhenti karna tak kunjung juga memperoleh. Hihhe... (tertawa kecil) emang sih, tidak ada tindakan upaya untuk keinginan itu. Rasanya males banget untuk menyapa dan mencari mereka. “Aneh ya, kepengen kok usahanya males.” Entah... disamping juga kuatir kalau nantinya, usaha untuk itu, makin mendukung kelalaianku dalam melaksanakan tanggungan. (aku masih sangat peduli terhadap tanggungan saat ini, kendati banyak lalai).

Sebenarnya kalau mau yang bukan cantik, pastinya nengok samping juga ada. Tak perlu rempong-rempong mendelik ke sana ke sini. Ada beberapa kali yang mendekat. Tapi aku menggelengkan kepala, sebab tak memenuhi kriteria. “Ego-nyaaaaaa aku.” Sombong memang. Sok ngerasa ganteng, pinter, apik, lihai grapyak (ingat, cuma merasa!), sehingga aku minta yang sekufu. Tidak mau yang biasa-biasa (atau bahasa kasarnya: rendahan).

Kalau boleh mengutip keterangan CakNun dalam tulisannya kemaren (Direktur dan Sopir. 17/12/12. CakNun.com): ada dua orang, yang satu bertitel direktur, dan yang satu menjadi sopir. Jika ditukar posisi, apa direktur mau jadi sopir. “Gampang loh, bukan kerjaan susah.” Sebenarnya dia bisa dan mampu untuk menyetir manjadi sopir, tapi mungkin ia tak mau karena sudah barang tentu ia merasa pangkatnya tinggi, mumbul, sehingga dirasa tidak pantas atau merasa gengsi untuk “menjabat” posisi rendahan (sopir). Begitu juga diriku yang merasa mumbul sebab ngerasa cukup cakep, pinter dan apik, sehingga enggan dan tak mau (bukan tak mampu) untuk berjajar pasangan yang biasa-biasa saja (kasarnya: rendahan). Ada lah, perempuan-perempuan, tapi kita tak mau karena tak cantik. Bukan tak mampu, tak bisa, tak dapat menjalin hubungan indah dengan mereka, tapi tak mau yang bukan cantik.
Ini ego-ku.

Mungkin, kalau sampai aku jenuh dan putus asa karena nampaknya sudah tidak ada lagi, tak kunjung ketemu dengan sang idaman hingga memakan masa yang panjang, malahan keadaan bisa saja berbalik. Mungkin aku pasang pamflet “BAGI SIAPA SAJA YANG MAU... (terserah. Mari...)”, karena mungkin, sampai orang yang biasa-biasa pun sudah keburu mendapati pasangan, tidak ada lagi yang tersisa. Sehingga aku hanya gigit jari atau bahkan ngeweh melihatnya. Bukankah seperti itu, Mas Kang Kuro. Hihhe...
*Merasa senasib dengan Mas Kang @Kuro Dzikro :)

Kalau dipikir kenapa aku serempong ini. Hingga ribet harus ini, kudu yang itu, perlu yang seperti ini. Iyah, memang aku resah sejak... entah. Tampaknya sejak melihat teman-teman sudah bersejoli antara satu sama lain. Bukan hanya mereka, tapi sekelilingku. Rasanya sudah banyak yang saling punya. Tentu hal ini memaksaku iri. Lebih lanjut, cemburu dengan kemesraan mereka.
Aku juga ingin bercinta, kawan... seperti kalian.

Aku khawatir jika tidak memperoleh pasangan, nanti. Maksudnya, kalau tidak sesegera, akan kehabisan stok perempuan. Seorang perempuan, sebagaimana kriteriaku. Kalau tidak dicari sekarang, orang lain yang duluan. Dan tambah susah nantinya kalau nanti-nanti.
Aku juga ingin bercinta, kawan... seperti kalian. Tapi bukan untuk mencoba-coba, melainkan untuk selamanya...
**kalimatnya ribet: ini bahasa ocehanku

4 comments: