Kamis, Oktober 27, 2011

GUS

GUS
Oleh : Zam Anharaz

            Benar saja para santri pada angguk-angguk manut nuruti apa kata maunya. Lha wong dia seorang Gus, yang notabene-nya putera Kyai yang sangat dihormati dan segani, panteslah dia juga dihormati oleh mereka yang mengais ilmu pada Abahnya.
“Kang, ambilin itu!”
“Bikinin ini, Kang!”
“Kang, beli’in itu!”
“Kerjain ini, Kang!”
Halah, kata-kata itu saja yang kerap kali terlontar dari mulutnya. Memang sih, sebagai santri yang menuntut ilmu sayogyanya bersikap ta’dzim terhadap segala hal yang berhubungan dengan  ilmu, supaya lebih gampang ngedapetin banyak ilmu yang bermanfaat juga barokah. Mulai dari memulyakan ilmu itu sendiri, memulyakan kitab, pengarangnya, memulyakan ahli ilmu, para ulama’, memulyakan kyai sebagai pengajar ilmu, tak terkecuali menghormati putera-putera beliau. Akan tetapi, karena seringkali para santri meladeni semua kemauannya, hal itu yang membuat sang putera kyai menjadi manja, bahkan sampai bertingkah semena-mena.
“Kang, siapin ini. Cepet!”
“Minta itu e, Kang!”
“Kang, anterin aku. Cepet ah!”
“Bawain ini e, Kang. Cepet ah cepet!”
Akibatnya, santri-santri harus mau nuruti semua perintahnya. Kalau sampai mereka enggan, atau hanya keliru sedikit akan perintahnya, diapun tak segan ngamuk-ngamuk kebakar jenggot dalam  kesemena-menaannya. Walhasil, mau tak mau, ya kudu diladeni lah sesuai dan sepersis keinginannya.
#
            “Eh, kalian sregep amat belajar bareng,” sapa Gus Ipul pada segerombol santri.
“Nggeh a, Gus. Besok kan pengumpulan terakhir tugas Bahasa Indonesia, kita rampungin aja bareng-bareng,” tanggap salah satu dari mereka.
“Loh, tugas yang mana tho?”
“Yah, malah pikun. Yang ditugasin buat kliping itu loh, Gus.”
“Oh iya ya, napa bisa lupa, aku!” Gus Ipul garuk-garuk kepala.
“Heleh!” tukas mereka.
“Hehehe. Emb... berhubung kalian lagi belajar bareng, sekalian tugasku dikerjain, yah. Buatin kliping,” pintanya.
“Yeee... Ini kan tugas individual Gus, bukan kelompok. Jadi di sini pada ngerjain sendiri-sendiri lah...”
“Tapi ndak apa-apa kan, aku minta dikerjain kalian. Udah deh, buatin aja!” sinis Gus Ipul dikit maksa.
Nggeh nggeh, Gus.” Pada akhirnya mereka mengiyakan saja.
“Nah, gitu kan lebih baik,” meringis menang.
#
            Tampang yang cukup mendukung, disertai kapasitas kecerdasan yang lumayan, membuat seseorang terbiasa berlagak sombong. Apalagi kalau-kalau orang tersebut adalah anak dari orang terhormat yang keinginannya selalu bisa terpenuhi, gampang saja ia berlaku semaunya. Demikian pula yang terjadi pada Gus Ipul. Bermodal hal itu, dirinya menjadi bertingkah polah semaunya.
            “Fuich, capek juga abis keluyuran.” Gus Ipul menjatuhkan badan di tumpukan selimut santri.
“Dari mana aja toh Gus, kok baru pulang malem?” sahut Feri di sampingnya.
“Biasa lah, maen ke rumah temen-temen.”
“Temen siapa? Temen-temen sampeyan kan ada di sini semua.”
“Ya temen luar pondok tho. Kan bukan Cuma ada di pondok aja.”
“Halah! Nggak takut apa kalo Abah sampeyan tau?”
“Syut! Moga aja nggak ngerti. Ngger diem ae.”
“Ya bisa aja ngerti kalo sampeyan keluyuran terus gini. Bakal dicincang-cincang kau!” Feri mengingatkan.
“Ya ya ah. Cerewet banget sih.”
Ngati-ngati aja sampeyan,” kembali Feri mengingatkan.
“Oke oke! Udah ah. Mending kamu penggilin si Sutad aja deh. Suruh ke sini dia!”
“Mau ngapa?”
“Ya biasa lah.”
“Mijit-mijit???
Hayah kebiasaan!” sedikit sebel Feri.
“Si Sutad lagi ada kegiatan musyawarah tuh,” lanjutnya mengabari.
“Udah... panggilin aja!” maksa raut muka Gus Ipul.
“Tapi kan nggak boleh keluar dulu kalo kegiatan belum rampung.”
“Bilang aja disuruh aku! Susah amat.
Cepetan ah, nggak sah pake ribet!” omelnya.
“Ya ya, Gus,” pasrah Feri mengiyakan, melihat Gus-nya udah mendelik.
“Cepet!!!” bentak Gus Feri.
“Eh iya iya...”
Nah, kalau sudah begini, si santri musti manut ngeladeni apa omong maunya. Kalau saja sampai menolak, bisa dipastikan bakal diterkam abis si santri. “Eh sekalian bikinin minuman dingin, gih,” satu pintanya lagi.
“Huft...”
#
            Kapanpun dan dimanapun, manakala seorang Gus Ipul membaur kumpul bersama santri-santri, pasti ada-ada saja kemauan dan keinginan yang harus dipatuhi. Yang inilah, yang itulah, yang ginilah, yang gitulah. Harus ditaati, diiyakan, diladeni, dituruti dan kudu dilaksanaken. Namun lama-kelamaan, keadaan sedemikian inilah yang membuat para santri enggan berdekatan dengannya dan cenderung menghindar. Bagaimanapun juga, mereka bosen dan jengkel juga kan disuruh-suruh terus seperti itu.
            “Heh, kok mrengut?” sapa Kang Ramlan, abdi ndalem yai, pas melihat Gus Ipul pasang raut muka sebel di muka ndalem.Ada gerangan apa tho, Gus?” lanjutnya.
“Huh! Sebel banget,” geram Gus Ipul jengkel. “Napa mereka pada ngacir pergi bila ngeliatku nongol?” celotehnya.
“Hihihi... Mereka siapa tho, Gus?”
“Si bocah-bocah santri sini lah.”
“Owh. Lah kok bisa?”
“Mana ku tau.”
“Emb... Takut sama kau kali, Gus.”
“Takut gimana?”
“Takut ama taringmumu itu. Ntar nek mbok cokot! Wkwkwkx...”
“Heh! Nggak ada taring iku maujud!” semburnya melotot. “Nggak segitunya lah. Yang bener dong, Kang,” melasnya.
“Qiqiqi... Gus Gus... belum sadar, ya?”
“Maksudte? Belum sadar gimana???” tanya ketidaktahuannya.
“Iya kan. Belum sadar kalo lakumu itu yang ngebuat mereka ngilang bila kau datang,” terang Kang Ramlan.
“Hem??? Laku yang mana, tho?”
“Hayah! Belum sadar juga?”
“Heh, emang mereka aku apain?” ucapnya tanpa merasa salah.
“Yeah... Kamu kan semena-mena nyuruh-nyuruh mereka terus. Seenakmu saja pada mereka,” jelas Kang Ramlan. Gus Ipul termenung.
“Emb...” berpikir merenung, mengoreksi diri.
“Iya tho?” Kang Ramlan meyakinkan.
“Sampe’ segitunya, ya...” ucapnya pelan, tampak baru sadari.
“Ya iyalah. Jengkel banget mereka.”
“Terus gimana?” tanyanya minta solusi.
Lha embuh. Terserah kamu lah mau gimana. Pengen keadaan lebih baik apa biarin gini aja?
“Emb... Caranya?”
“Cara apa?”
“Ya caranya biar lebih baik lah, Kang...”
“Pikir sendiri aja.” Kang Ramlan cabut angkat kaki.
“Eh Kang, malah pergi.”
#
            Tatkala seseorang bertindak salah, berbuat keliru, bersikap dan bertingkah polah menyimpang dari suatu nilai dan norma, maka pengucilan adalah satu dari sekian cara yang efektif dalam mengatasi permasalahan tersebut. Hal demikian pula yang dialami oleh Gus Ipul. Sikap sifatnya itu memaksa orang-orang di sekeliling melakukan pengucilan terhadapnya. Tak heran jika dirinya menjadi resah dan susah menghadapi perlakuan mereka akan itu. Namun akhirnya ini cukup berhasil membuat seorang Gus Ipul sadar akan kelakuan yang diperbuat selama ini. Tak hanya itu, dirinya juga ingin bertingkah dengan bersikap lebih baik. Keinginan itu diwujudkan oleh lakunya terhadap santri-santri dengan memperlakukan mereka sebagaimana menghormati.
            “Eh Kang, monggo iki loh ada jajan,” tawar Gus Ipul akan sekerdus makanan saat menyapa segerombolan santri di teras pondok. “Yuk, disantap bareng-bareng, yuk!” cuapnya bersahabat. “Ayo dong, ndak usah ewuh-ewuh...” ajaknya.
“Eh iya, Gus...” Tapi nampaknya para santri ragu untuk menyomot jajan tawaran Gus Ipul. Secara, mereka heran kan melihat Gus-nya lain dari biasanya. Kelihatan dan terasa aneh bila Gus-nya berlaku baik pada mereka.
“Kok ragu! Nggak tak racuni kok...” guyonnya.
“Tumben, Gus,” satu santri memberanikan diri berceloteh.
“Iya, Gus. Tumben-tumben kau nawari kita makanan. Biasanya kan kamu yang minta jajan dari kita,” tambah yang lain membuka kartu.
“Syuuut...! hehehe... Lagi berbaik hati ni.”
“Ow, bagus deh. Tapi bener kan, Gus?” mereka memastikan.
“He’eh. Mosok nggak percaya tho,” tanggapnya.
“Yang bener???” was-was mereka tanya lagi.
“Iya iya, ndak bo’ong...” Gus Ipul meyakinkan.
“Syukurlah...” lega mereka. “Emb... Berhubung mumpung sampeyan lagi berbaik hati, sekalian bikinin minum buat kita, gih. Jajanmu bikin seret tenggorokan nih,” pinta mereka. “Tapi yang dingin ya, Gus...” tambahnya. “Kalo perlu, bawain juga jajan yang banyak. Semua maeman seisi dalem -mu juga boleh. Hehehe...  Eh, abis itu, ntar kita dipijit-pijit, yah. Emb... terus... (bla bla bla...)”
Gubrak!!!

0 comments:

Posting Komentar