Tak beda dengan kebanyakan anak muda, yakni
galau menjadi sumbu cerita. Memang bukan galau oleh sebab gebetan atau cinta, melainkan
galau karena bingung tentang rencana selepas MA. Lumrah lah dialami oleh anak
sekolahan yang ada pada tingkat akhir Madrasah Aliyah. Mungkin iya, hanya oleh
orang-orang “GeJe” (nggak jelas) yang mengalami. Artinya saya
membenarkan jika saya juga termasuk orang yang nggak jelas itu. “Bingung mau
ngapain nanti abis lulus?” kepusingan ini berangkat dari ketidaksiapan diri
atas skill bagaimana melaku nanti. Rasanya modal yang ada belum
mempunyai arti. Ilmu dan pengalaman sangat jauh dari cukup untuk berdiri
menatap kehidupan. Kudu linglung, rasanya. Entah bagaimana.
Melihat keadaan tidak saling mendukung, atau
tepatnya tidak mendukung dengan maksud diri sehingga menjadikan pikiran ruwet.
Perihal nggak terdengar lagi perintah orang tua untuk melanjutkan
jenjang pendidikan. Bahkan yang biasanya beliau dalam beberapa kali kesempatan
telah menawariku untuk sekolah di Timur Tengah, melanjutkan sekolah setingkat
SMA di Madinah, sekarang tidak menggaung lagi. Mungkin karena aku yang tetap
geleng-geleng menanggapi tawaran itu, perintah untuk melanjutkan sekolah urung
digaungkan lagi. Terlebih mengingat kejadian yang memalukan saat beliau diharuskan berhadap sowan ke
Kyai Pengasuh untuk negosiasi polah bandelku yang melanggar aturan. Bukan
biasa, namun peraturan yang tergolong “elit”.
Aku sendiri, sejak tragedi itu, tidak berani
untuk bercuap-cuap ngomong (bahkan meminta) dengan mereka. Hal itu memang
dilandasi rasa ewuh atas posisiku, di samping juga... (bukan di samping
juga, tapi dan juga) karena polah dan hasilku yang cenderung memalukan, lantas
aku semakin mengkerut bertatap dengan beliau. Ah, ini juga karena otakku yang
kosong, enggan memikirkan sedari awal tentang kelanjutan laku yang kudu
diprogramkan setelah lulus. Agak telat, sehingga memusingkan kepala.
Berbicara keinginan, sebenarnya aku belum mau
berpindah status selain pelajar. Aku masih ingin nggambleh dengan
kepelajaranku sebagaimana biasa di sekolah dan pondok. Main dan tidak disiplin
saat kegiatan-kegiatan berlangsung. Tentu saja aku masih senang dengan
kerianganku bersliweran dengan teman sesarung, sekasur, sekamar dan
sepondok. Aku begitu asyik menciptakan hari-hari dengan tertawa dan cemberut
bersama meraka. Pun begitu pula berserawung dengan guru-guru, terlebih
kyai-ku (Semoga Allah merahmati beliau). Begitu syahdu ketika para santri
menunduk hormat untuk memuliakan Sang Kyai. Semua langkah terhenti ketika
terdengar seretan sandal beliau, seketika santri khusyuk menelangkupkan tangan
di bawah dan membungkuk hormat sepanjang Sang Kyai melintas. Sebuah pemandangan
menyejukkan yang lumrah ditemui di bawah atap pesantren salaf.
Aku masih ingin menikmati hal itu, tetapi
hidup tak mungkin bisa berjalan di tempat. Ia terus melangkah menanjaki
masa-masa berikutnya. Implikasinya, merupakan keharusan bagi setiap individu
untuk merancang program yang akan dilaksanakan, baik jangka pendek ataupun
jangka panjang. Ini perlu dilakukan supaya kehidupan personal bisa baik
dijalankan, oleh sebab terorganisir atau tersistem. Dan tentu supaya tidak
pusing seperti kondisiku saat ini. Kesadaran ini membuat raga beranjak menyusun
rencana kerja, “Biar tidak terus larut dalam kepusingan.” Adalah mondok
lagi dan kuliah. Mondok untuk meneruskan ke-gandrung-an-ku pada
nuansa pesantren. Bukan cuma gojekan, namun juga nyaman menimba Ulum
al-Din di sana. Nyaman atas menyimak pengajian Kyai, nyaman
berdzikir bareng dengan kaum sarungan dan berpeci. Ini yang saya prioritaskan.
Terkait kuliah, saya pikir (kala itu), ia hanya perlu sebagai tindakan bergaul
dengan kehidupan luar saja.
Bukan saja terhenti pada keinginan untuk mondok
dan kuliah, tetapi aku ingin bebas biaya dari orang tua, mengingat (sebagaimana
hal yang sudah saya katakan di atas)
beliau tidak nampak lagi untuk menyokongku sekolah. Sebenarnya ada beberapa
tawaran yang menyapa. Pertama, kuliah dengan ikut sumbangsih mengajar di
Panti Asuhan (dengan biaya kuliah ditanggung). Kedua, kuliah ikut
saudara-saudara di Sulawesi dengan biaya sambil jalan (maksudnya kuliah
ditanggung saudara dulu, namun kemudian dilanjutkan dengan mencari kerja
sendiri). Ah, yang terakhir sama sekali tidak minat. Aku tak kepingin beranjak
dari bumi Jawa. Pandangan pendekku beranggapan bahwa di luar Jawa tertinggal
maju daripada Jawa. Berbeda dengan tawaran pertama, agak bisa mengiyakan kalau
kuliah sambil ikut berkontribusi mengamalkan ilmu (tentu didorong tanggungan
biaya makan dan kuliah yang disediakan). Jadi aku bungkus saja tawarannya untuk
nanti sebagai pertimbangan.
Di perempat akhir periode pembelajaran tahun
2010-2011 ialah masa dimana banyak sosialisasi perguruan tinggi di
sekolah-sekolah. Tidak luput Madrasah Aliyah Tasywiquth Thullab Salafiyyah
(TBS), Kudus, juga menjadi sasaran sosialisasi perguruan tinggi. Terlebih
urusan beasiswa yang paling laku diminati para siswa, baik beasiswa perguruan
tinggi lokal atau beasiswa di luar negari (khususnya Timur Tengah, karena basis
sekolahku adalah madrasah yang tentu menjuru pada akademik studi Islam dimana
Timur Tengah menjadi rujukan studi dalam sekolah tinggi). Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga adalah satu-satunya perguruan tinggi yang aku minati.
Bukan sebab kualitasnya yang unggul, tapi mensinkronkan keadaan dan kemumpunian
diri terhadap universitas yang akan aku masuki. Pertama, jikalau aku
masuk di universitas tersebut, biaya perkuliahan persemester dapat dijangkau
(cukup murah dengan Rp. 600.000 persemester). Kedua, mata kuliah pun
bisa aku ikuti sesuai background pendidikan sekolahku. Pastinya terkait Ulum
al-Din, bukan pelajaran umum yang aku sendiri pusing jika diajarkan di
madrasah dulu.
Serentet info-info Perguruan Tinggi dan
beasiswa, tertangkap oleh pendengaranku atas pengumuman yang disampaikan kepala
sekolah mengenai beasiswa bagus. Sangat bagus aku kata. Yaitu beasiswa gratis
kuliah dengan penawaran di 12 Perguruan Tinggi di Indonesia, beserta perolehan living
cost Rp. 900.000 tiap bulan (Bukankah Rp. 900.000 merupakan uang saku yang
lebih-lebih untuk menyekoki perut selama sebulan dan tiap bulan). Perguruan
Tinggi itu, sebut saja UGM, ITB, IPB, UPI, ITS, Unair, Unram, UIN Syarif
Hidayatullah, UIN Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel, dan IAIN Walisongo, UIN
Malik Ibrahim. Mereka mempersilahkan berbagai jurusan yang disajikan. Ada
Kedokteran, Agronomi, Advokasi, Sastra Inggris, Teknologi Informatika,
Akutansi, Ilmu Hubungan Internasional, Ushuluddin, Ilmu Falak, dan banyak yang
lain. Tentu saja pilihan jurusan tersebut menyesuaikan asal jurusan dari
sekolah. Siswa jurusan IPS, mengambil jurusan terkait IPS atau keagamaan. Untuk
siswa jurusan IPA bisa memilih jurusan apa saja yang ada, entah terkait IPA,
IPS, atau keagamaan. Namun untuk siswa Program Keagamaan hanya bisa mengambil
jurusan yang terkait keagamaan.
Terdengar juga, nantinya mereka yang lolos dan
menjadi mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri akan didomisilikan di
pondok pesantren. Nah, persis sesuai mauku, kuliah bebas biaya dan mondok.
“Tak mengapa lah. Paling cuma bergeser penempatan prioritas, yakni kuliah
dengan mondok, bukan mondok dengan kuliah sebagaimana awal
keinginan.” Ini implikasinya: kuliah dengan mondok. Makna penyebutan
dengan mendahulukan “kuliah” atau “mondok” mempunyai perbedaan signifikan. Mondok
dengan kuliah artinya cenderung memposisikan pondok sebagai hal yang utama dan
mengalahkan kerjaan kuliah. Sedangkan kuliah dengan mondok adalah
memprioritaskan kuliah dalam studinya. Hal ini jelas bertolak belakang dengan
inginku. Namun tidak apa, toh rasanya bagaimanapun keadaan seorang mahasiswa,
di pondok dengan niat prioritas pondok atau tidak, tetap memberi perhatian
lebih pada masalah kuliah. Mungkin karena kuliah memang dirasa penting dalam
perjalanan belajar. Dipandang dari fungsi dan akademika perkuliahan sehingga
menarik dan mendorong dia untuk menikmati.
Beasiswa itu berjuluk Program Beasiswa Santri
Berprestasi (PBSB) dimana Kementrian Agama RI sebagai orang tua yang melahirkan
dan pembimbing. Program yang lahir diprakarsai atas kesadaran pikiran supaya
menciptakan akses mudah bagi santri untuk menginjak lantai pendidikan Perguruan
Tinggi. Disadari selama ini, memang kaum sarungan dirasa sulit untuk mencicipi
akses Perguruan Tinggi. Padahal mereka yang berada di pesantren, telah banyak
berjasa dalam membangun negeri melalui berbagai budaya dan jebolan
santri-santrinya. Lantas mengapa di negerinya sendiri, mereka tidak mudah mengakses
pendidikan tinggi. Walhasil, Kementrian Agama yang banyak dijabat oleh
orang-orang alumni pesantren, berangkat menyusun ide untuk membentuk program
semacam beasiswa demikian itu.
Aku meyakinkan diri untuk mencentang UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dengan jurusan Tafsir-Hadits-nya. Ada beberapa pertimbangan
atau alasan yang menjatuhkan pilihanku padanya. Pertama, jurusan yang
disuguhkan PBSB UIN Sunan Kalijaga tidak jauh berbeda dengan background
keilmuan yang saya bawa dari madrasah dan pesantren, yaitu mengenai Ulum
al-Din. Meskipun aku ada dari jurusan IPS, tapi aku tak cukup lihai dengan
mata pelajarannya. Akuntansi, geografi, sosiologi, ah banyak definisi yang
perlu diketahui. Berbeda dengan ilmu agama, kendati tidak sedikit juga
bahasan-bahasannya, namun seorang santri sudah terbiasa menyantap kitab kuning
dalam sehari-hari sehingga kajiannya lumayan mudah difahami. Kedua,
Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar. Julukan tersebut menggiring asumsi
tentang isi Yogyakarta yang mendukung dan kondusif untuk berstudi di sana.
Penyeleksian siswa yang diperkenankan ikut tes
program beasiswa Kemenag ini ialah mereka yang berstatus santri,
sekurang-kurangnya telah nyantri selama tiga tahun di pesantren yang
satu yayasan dengan sekolah. Di samping itu, mereka harus berada dalam 10 besar
pada 5 semester terakhir. Bersyukur saja, syarat awal beasiswa ini bisa aku
lewati dan mengantarkan diri ke Semarang untuk mengikuti tes kelolosan masuk
PBSB. Tepatnya tanggal 4 Mei 2011, singgah sehari di salah satu gedung IAIN Walisongo.
Di sini sekolahku mengusung 22 pasukan untuk menembus tes seleksi PBSB
tersebut.
Ada ritual-ritual khusus yang aku laksanakan
(hihi :D). Kesana-kemari, aku meminta doa dan restu kepada para Romo Kyai.
Meminta suwuk atau amalan supaya bisa lolos dalam keperluan ini, bahasa
sopannya agar bisa mengikuti beasiswa ini. “Bener. Aku pengen masuk program
ini. Aku mau kuliah dan mondok gratis, tanpa perlu orang tua.” Mungkin dengan
lolos beasiswa ini, orang tua bisa merubah wajah mereka dengan senyum. Dan aku
bisa sedikit membanggakan mereka. “Berbanyak shalawat.”
Bungah tidak terkira kala mataku menangkap nama Azam Anhar asal
pondok pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kwanaran 139 A Kajeksan Kudus. Melalui
pengumuman 2 lembar halaman berformat PDF yang ditilik dari
http://www.pdpontren.com bertanggal 23 Mei 2011, bersyukur dan kegirangan atas
keinginan untuk dan kuliah bebas biaya bisa tersampaikan dengan ini. Terlebih
mengingat living cost yang akan didapati tiap bulan. Artinya aku bisa
banyak berlepas tangan dari peran orang tua atas cekokan ongkos sebagaimana
biasa. Tapi perlu dicatat, konsekuensi program beasiswa santri berprestasi ini
ialah telah menandatangi kontrak mengabdi selama tiga tahun selepas studi di
perguruan tinggi nanti. Rasanya itu proposional. Kita perlu melakukan timbal
balik dan kontribusi atas ilmu-ilmu yang diberikan mereka, baik dari civitas
pesantren yang telah awal memberikan bejibun amal dan ilmunya, dan juga
dari Kementrian Agama RI yang telah memberikan amanat untuk berstudi di
Perguruan Tinggi dalam rangka menampakkan urgensi peran santri dalam kontribusi
negara.
Ada tanggungan tambahan untuk mahasiswa PBSB
yang masuk di UIN Sunan Kalijaga, adalah mewajibkan 10 juz al-Qur’an untuk
dihafal. Bagi pribadi, itu tidak mengapa. Malah bagus bisa menghafal al-Qur’an,
lebih-lebih seluruhnya. Artinya hafidz 30 juz. Hal tersebut wajar, karena
sinkron dengan jurusan yang diambil atau dikatakan mendukung dalam studi
Tafsir-Hadits. “Ya, paling tidak melalui tanggungan ini bisa mengantarkanku
untuk memperoleh kenikmatan hafal al-Qur’an.”
Aku lolos di UIN Sunan Kalijaga bersama
Muhammad Ulinuha Mujib, lulusan terbaik Pondok Pesantren Tahfidz Yanbu’ul
Qur’an Remaja, Kudus. Ia telah lancar 30 juz dan biasa mendapati juara lomba
pidato bahasa Arab. Banyak point dimana aku tertinggal darinya. Semoga saja aku
terbuat iri olehnya sehingga melecutkan tekat untuk memiliki asa. Bukan cuma
ia, ada empat teman lagi yang lolos beasiswa ini. Jika dijumlah keseluruhan
ialah enam siswa Madrasah Aliyah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus yang
tembus menjadi mahasiswa PBSB. Satu di UPI dengan jurusan Sastra Inggris, satu
di IAIN Walisongo dengan jurusan Konsentrasi Ilmu Falak, dua di UIN Sunan
Kalijaga dengan jurusan Tafsir-hadits, dan dua di IAIN Sunan Ampel dengan
Jurusan Akhwal Asy-Syakhsiyyah.
Babak Baru
Memasuki gerbang mahasiswa anyaran,
agak gugup aku menatap nuansa kampus. Pikirku, civitas akademika kampus pasti
banyak pengalaman dan tahu. Omongan yang disandang tentu banyak terselip bahasa
ilmiah. Mengantongi alasan-alasan yang mematahkan untuk menepis jikalau
polah-polah yang dilaku menyalahi etika dan norma. Apalagi mahasiswa Ushuluddin
yang pernah populer dengan pendapatnya atas ketidakpentingan shalat, karena
yang perlu cukuplah yakin atas Allah. Aku berada di Fakultas Ushuluddin, Studi
dan Pemikiran Islam (FUSAP) dimana prodi Tafsir-Hadits menjadi bagiannya.
Memutar rekaman kabar salah seorang dosen, jikalau tujuan daripada
Tafsir-Hadits yang mulanya dimiliki oleh Fakultas Syari’ah dan kemudian
dipindahkan ke Fakultas Ushuluddin adalah sebagai umpan dalam menarik para
calon mahasiswa untuk mengisi fakultas tersebut. Sebab sebelumnya, telah
terpasang pada sosok Ushuluddin sebuah merk atau lebel menakutkan bagi
orang awam, oleh karena laku civitasnya yang “menyalahi aturan” itu.
Mengaca sikap sendiri, aku biasa saja
menanggapi kabar sedemikian itu. Bukan karena tahu, tapi cenderung tidak peduli
perihal pemikiran kirinya mahasiswa Ushuluddin. Memang hal itu perlu diwaspadai
supaya kita sendiri tidak ikut terkontaminasi pemikirannya. Ketika sowan
meminta restu dan doa kepada masyayikh pesantren dan madrasah, beliau
KH. Khoiruzad Turaichan, sesepuh Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS)
Kudus memasang lampu kuning sesaat setelah mendengar kata Ushuluddin dari
jawabanku atas pertanyaan beliau berkenaan jurusan yang aku ambil. Namun kemudian
tampak lega serampung mulutku melanjutkan Fakultas Ushuluddin dengan prodi
Tafsir-Hadits. “Oh, yo wis lah nek Tafsir-Hadits. Berarti kan
aman...” Dipahami bahwa tanggapan ini, dituturkan atas dasar kekhawatiran
beliau terhadap santri didiknya bila terjun pada pemikiran orang-orang
Ushuluddin dan ikut. Sebenarnya bukan semua mahasiswa Ushuluddin yang berpolah
tidak shalat dan berpemikiran nylenehi norma agama, akan tetapi ada
beberapa saja mahasiswa yang keblinger dan beritanya menjadi dikenal
banyak kalangan. Mereka adalah mahasiswa yang berjurusan Filsafat Agama, studi
yang konsentrasinya berolah pikiran yang bisa membuat keliru jika metodenya
keliru.
Suasana baru bagiku ketika lawan jenis
bercampur satu kelas dan sesrawungan di kampus, bahkan berkumpul dan
berjejeran. Suatu pemandangan yang sangat haram dalam tradisi pesantrenku.
Berkirim sms saja dengan yang bukan mahram bisa diadili, digebuki dan
gundul. Aturan dan hukuman tersebut lumrah ditemui di pesantren salaf. Mereka
mengikuti betul dawuh ulama yang telah termaktub dalam kitab kuning
Timur Tengah. Tidak boleh hukumnya bercengkrama dengan lawan jenis tanpa alasan
yang dibenarkan. Sehingga wajar, pesantren yang menamakan dirinya salaf
menerapkan peraturan demikian itu. Terkait hukuman, saya kira menyesuaikan
dengan tingkat kebandelan umunya santri. Hukuman gebuk dan gundul
ditetapkan ketika para santri sudah berulangkali melanggar sehingga ini dapat
berimbas menjadikan aturan tidak memiliki kelonggaran hukuman. Tetapi di
kampus, lumrah berjejeran dan bercolek kulit dengan teman lelaki dan perempuan.
Aku pun, dimana rasa kesalafan masih kental dalam darah, masih menjaga jarak
dari prilaku tersebut. Takut dosa. Takut
durhaka terhadap Sang Kyai yang telah mengamanatkan untuk terus memegang apa yang
diajarkan di pesantren.
Aku kaget ketika mendapati mata kuliah
filsafat, terhenti pada kajian pemikiran para filsuf Islam. Rasanya begitu
berbeda dengan pikiran, sejauh yang saya peroleh dari madrasah dan pesantren.
Al-Farabi atas pandangan tentang kosmologi, berkenaan relasi Tuhan dengan alam,
mengusung teori emanasi. Mula-mula Akal berpikir tentang Tuhan, dan dari laku
berpikir itu timbul ekistensi atau wujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama,
dan dari pemikiran itu timbullah Wujud Kedua yang juga memiliki substansi yang
disebut Akal Pertama (al-Aql al-Awwal, the First Intellegence) yang
bersifat imateri. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan selaku Wujud Pertama, dan
dari pemikiran itu melahirkan Wujud Ketiga yang disebut Akal kedua. Wujud
kedua/Akal Pertama selanjutnya berpikir tetang dirinya dan muncullah langit.
Akal Kedua/Wujud Ketiga memikirkan Wujud Pertama, dan dari pemikirannya itu
muncullah Akal ketiga atau disebut Wujud Keempat. Akal Ketiga/Wujud Keempat
memikirkan dirinya sendiri dan lahir bintang, begitu seterusnya sampai pada
Akal Kesepuluh/Wujud Kesebelas yang melahirkan bola bulan.
Membingungkan. Aku tidak mengerti tentang
tindakan memikirkan sehingga memunculkan sebuah perwujudan langit, bintang,
Saturnus, Yupiter, Mars dan seterusnya. Maksud dari hasil perwujudan/Akal yang
memikirkan dirinya sendiri kemudian lahir wujud makhluk langit; bintang dan
lainnya. Aku tidak mengenali. Rasanya aneh antara teori tersebut dengan
konstruksi pandangan saya terhadap Islam. Yang saya ketahui Allah atas dzat-Nya
sendiri menciptakan makhluk-makhluknya, tanpa ada yang lain yang menciptakan
sebuah perwujudan. Bukan atas sebuah tindakan memikirkan yang melahirkan wujud
makhluk.
Keheranan saya tidak terhenti pada isi bahasan
filsafat saja. Pun untuk memahami sebuah pemikiran filsuf, katanya (seorang dosen)
perlu meletakkan Iman barang sejenak untuk tujuan objektif agar bisa memahami.
Tentu pekerjaan ini mengkhawatirkan. Kalau salah memahami perintah tersebut
bisa menghilangkan status Islam seseorang, sebab keimanan itu bukan barang
sepele yang gampang saja dilepas-pasang.
Songsong Pandangan Positif Terhadap Lain Pemikiran
Seiring perjalanan studi, aku semakin longgar
meng-amin-i (baca: setuju) masukan materi yang disampaikan dalam kuliah.
Perihal Islamic studies, ternyata khazanah pemikiran dalam Islam melandaskan
pada upaya berpikir yang bukan asal-asalan. Ada keobyektifan di sana, meskipun
yang namanya manusia bisa saja mengalami luput, sehingga hasil yang ditelorkan
bisa keliru. Yang jelas, usaha mendekati penafsiran kalam Allah ialah tidaklah
bisa sempurna. Sebagai manusia, kita hanya mencoba meraba dan mendekati apa
yang dituturkan Allah. Tentu dengan menggunakan metode dan modal sebagai awal melakukan
itu, bukan menggendong nafsu belaka.
Para tokoh pemikir Islam, insider atau outsider,
memberikan perhatian besar melalui konstruksi pemikirannya yang kemudian
memperngaruhi umat Islam merata dan mereka mengikutinya. Bukan sama seluruhnya,
namun berbeda-beda. Umatpun mengambil yang sejalan dengan pikirannya. Dalam
sebuah permasalahan, perbedaan pendapat menjadi wajar, bahkan saling bertolak
belakang. Hal itu tidak bisa dihindari karena manusia hanya bisa meraba maksud
Tuhan dan bisa saja salah. Allah tidak secara gamblang, sekonkrit-konkritnya
mengatakan “apa mau-Nya”. Dia hanya memberi saku kita tentang ketentuan-ketentuan
yang global dalam al-Qur’an, bukan terperinci. Sementara permasalahan tidak
mandek pada satu masalah, akan tetapi berkembang menurut lokasi dan kondisi.
Hukumnya bisa fleksibel menyesuaikan keadaan.
Tentang syari’at, amaliyah, dan apa saja bisa
berlain pemikiran, selama merujuk pada sumber utama Islam, al-Quran dan
penjelasan Nabi (hadits). Pun (rasanya) terhadap masalah akidah, hanya pada
pokok yang tidak bisa lain, kudu mengimani sebuah ketetapan (istilahnya
kebenaran mutlak). Yang mengalami perselisihan itu terletak pada masalah cabang
(far’u), khususnya berkenaan ibadah. Ini yang biasa terangkat dan memasalah
dalam kalangan umat, sehingga memicu terbentuknya sekat-sekat diantara mereka.
Orang yang “berpandangan ini, seperti itu, demikian ini” meminggir membuat nama
golongan. Banyak sekali, bahkan sampai memincingkan mata terhadap yang tidak
sepaham. Imbasnya, hal tersebut dapat menggiring mereka pada sikap
memecah-mecah.
Pola tindakan ini yang disayangkan, bisa parah
membuat integritas umat terbelah. Padahal Rasulullah sudah menuturkan kalau
seseorang melaku ijtihad dan benar, ia memperoleh dua ganjaran. Namun jika
salah, ia mendapat satu pahala. Atau ungkapan yang lain dari Nabi, bahwa
perbedaan merupakan rahmat. Atau dari Allah sendiri dalam firmannya tentang
penciptaa manusia yang sengaja dibuat beragam; laki-laki, perempuan, bersuku,
berbangsa supaya saling mengenal (memahami). Hal demikian jelas jika perbedaan
telah direstui, sudah dirangkai sedemikian rupa. Perbedaan itu alami; akal, pikiran,
pandangan disusun berbeda karena itu kekayaan Allah, sehingga output
manusia bisa beragam sesuai hal yang diformulakan.
Adalah tindakan yang kurang tepat apabila
seseorang atau segolongan menyalahkan yang lain atau mamasang sikap acuh,
apatis, egois, tidak mau senyum dengan mereka. Lantas menyusun kalimat
provokasi yang mempengaruhi pikiran khalayak untuk “menganugerahkan” stempel
negatif terhadap satu pemilik pandangan yang bersebrangan dengan ia. Sikap ini
sudah terjadi sejak dulu, malah sedari ulama salaf tersebar dimana-mana. Pun
sampai sekarang, sikap tersebut sudah merambah ke pelosok-pelosok jiwa sebagian
khalayak-sebagian khalayak.
Sebenarnya para imam dan ulama telah
mengajarkan dan mencontohkan bagaimana menyikapi perbedaan. Ingat saja Imam
Maliki yang mempersilahkan murid terbaiknya, Imam Syafi’i, untuk berbeda
pendapat. Dan beliau merestui, bahkan memerintahkan Imam Syafi’i untuk berlepas
dengannya mengeluarkan fatwa atas ijtihad Imam Syafi’i sendiri. Akan tetapi
para umat sebaliknya, mungkin karena fanatik pada satu golongan sehingga ia
kaku melihat yang lain. Aku, rasanya sedari bocah di kampung hingga beranjak gede
di pesantren, pandangan dan sikapku juga seperti itu. Di kampung yang mayoritas
kaum NU, orang-orang tua mengajari anak-anak terkesan menyalahkan yang lain,
khususnya Muhammadiyah. Pondokpun bersandang NU, rasanya juga banyak kyai
berfatwa jika golongan A itu tidak lebih baik dari kaum kita. Mungkin iya, ini
juga bisa disebabkan pihak lain yang sudah memberikan tatapan negatif pada
mereka, dan kemudian kami (kampung dan pesantren) merespon balik dengan tatapan
yang sama negatif. Lalu jadilah saling memincingkan mata. Tentu aku sebagai
orang yang dituntun dalam agama mangut-mangut pada dawuh beliau-beliau yang
berposisi imam.
Namun selanjutnya, ketika menginjak lantai
yang lebih luas, yang aku dapati dalam perkuliahan, menjadi tahu asal-muasal
bagaimana peristiwa sedemikian itu terjadi. Bahwa perbedaan itu dikehendaki
Allah. Manusianya saja yang fanatik pada satu pendapat sehingga membentuk
dirinya tidak santun dengan yang lain. Padahal ada aturannya, berlain pandangan
dipersilahkan asal memiliki landasan. Kemudian kita beradu argumen untuk
mempertemukan titik yang sama. Kalaupun tidak ditemui titik kesamaan, kita
tetap saling bersikap hormat dan menghargai.
Kesadaran sikap ini membawa juga pada
term-term yang lebih luas. Tentang filsafat, tentang sosilogis, kultur, dan
sebagainya. Adanya pemikiran filsafat, oleh Yunani, bangsa barat, filsuf Islam,
pasti hal itu dimulai dari prespektif atau mindset yang dibangun.
Kemudian berolah pikir sejauh kemampuan terbatas yang dimiliki manusia, jadilah
beragam hasil dan teori. Kita memaklumi saja. Mengiyakan atau tidak,
dipersilahkan sesuai pendapat masing-masing.
Kita tidak boleh kaku, jikalau dalam civitas
kampus, lelaki dengan perempuan biasa berkumpul dan berjejer. Kita perlu
menilik konteks, baik sosiologis, kultural, psikolgis dan sebagainya. Mungkin
melihat fungsi, dalam diskusi perkuliahan tidak bisa berjalan baik bila semua
komponen menjaga jarak, sangat hati-hati, berjauhan. Pastinya hal ini dapat
mempengaruhi hasil diskusi, ia baik, sempurna atau belum maksimal. Begitu pula
bersentuhan kulit antar lawan jenis. Ingat, salah satu imam kita ada yang berpendapat
bila bersentuhan pada yang bukan mahram tidak membatalkan wudlu. Jika
tidak demikian, mungkin masih banyak alasan-alasan lain melihat konteks
ke-Indonesia-an dan kultur. Nah, maksud saya, kontruksi pemikiran seperti ini
yang nanti akan saya sampaikan ke pesantren dan khalayak.
0 comments:
Posting Komentar