BEHEL FASHION

Lihat yah ^^

OPAC UIN SUKA

Nyari buku di Perpus UINJOG

FACEBOOK

Tampang fb gua!

POETRY

Senja Di Pantai

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, November 28, 2011

Jama'ah, jama'ah...

            Tentunya risih dipandang orang, bila seorang mahasiswa jarang melakukan ritual mandi di kehidupan sehari-hari, entah pagi atau sore. Kenapa? Sudah barang tentu dahi berkerut timbul tanda tanya. Kok bisa, seorang yang sudah dicekoki cleanlines education selama kurang lebih 8 tahun di pendidikan formal TK, MI, MTs, MA dan kini menjadi mahasiswa yang mestinya sudah lebih paham dan mengerti perihal “jorok” itu, malahan melakukannya sendiri. Ini tentu memalukan untuk ukuran orang terpelajar.
            Namun beda bagi kalangan santri, –khususnya saya sendiri-- meski ia juga sama telah melahab pendidikan formal itu hingga sekarang menjadi mahasiswa, hal tersebut bisa menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah. Mengapa? karena pola kehidupan pesantren yang tak jarang bergelut dengan hal-hal “kotor”, membuat mereka ikut terbiasa berpolah “kotor”.
            Tetapi tidak! bila menilik prilaku yang ini. Amat tak etis dan bahkan risih memalukan untuk seorang mahasiswa TH jebolan pesantren, apalagi ia adalah anak pilihan, sering bertindak tak ikut serta dalam sholat jama'ah di Masjid. Malah cenderung menyepelekan, asyik dengan notebook, jedug-jedug mendengarkan musik, memlototi film,  bermain game, berkutit dengan handphone atau sekedar bermalas-malasan di atas kasur. Apakah pantas prilaku demikian dilakukan seorang yang berangkat dari pesantren menjadi mahasiswa TAFSIR-HADITS KHUSUS? Benarkah seperti ini ejawantah ilmu mereka? Dimana tanggungjawab mereka terhadap masyarakat?
            Ini tentu tak sinkron dengan ajaran al-Qur`an dan hadits yang telah dipelajari dari pesantren, tak selaras dengan al-Qur`an hadits yang menjadi konsentrasi studi utama mereka di perguruan tinggi. Minimal kita pernah mendengar sabda Rasul yang memperingatkan untuk senantiasa memakmurkan masjid. Sebagaimana hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi,
حدثنا محمد بن العلاء حدثنا حسين بن علي عن زائدة عن هشام بن عروة عن ابيه عن عائشة قالت أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم ببناء المساجد في الدور وان تنظف وتطيب
Menyorot kata تطيب , kita diminta untuk mengharumkan masjid, memakmurkannya, meramaikannya, dengan lantaran berjama’ah di dalamnya, membuat majlis ilmu dan sebagainya. Tapi bagaimana bisa  mengharumkan bila fungsi esensi masjid saja jarang dilaksanakan.
            Iya, bisa dimaklumi bila jarak antara masjid dengan domisili mereka dikatakan jauh. Tapi di sini, mereka tinggal di pondok yang tidak sampai hitungan semenit bisa sampai ke masjid dengan cukup melangkahkan kaki. Pastinya kita tahu bahwa ini tidak bisa dibenarkan untuk dijadikan alasan. Lantas bagaimana dengan ungkapan hadits yang kurang lebih, “Tidak sempurna sholat seseorang yang tinggal di sekitar masjid kecuali berjama’ah di masjid.”
            Sebagai pelajar Tafsir-Hadits sekaligus penerima beasiswa (atau tak usah menyebutkannya) dimana ia membawa misi dari pesantren, sekolah, orang tua, dan negara (lebih khususnya, Kemenag) mestinya berusaha bertanggungjawab atas harapan, –sekaligus tuntutan— yang ditaruh kepadanya, yakni ke depan bisa menjadi “pemuas” untuk menjawab kebutuhan masyarakat, menjadi penengah atas konflik masalah di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan modal akademiknya. Dan tentunya tidak berpolah sikap yang sekan-akan menjadi bibit mengkhawatirkan. Dalam hal ini, mereka patutnya membaur kepada masyarakat dengan berpartisipasi meramaikan masjid, lalu menjadikan sholat berjama’ah sebagai lantaran untuk menjalin hubungan baik dengan mereka. Sebab untuk sampai pada tujuan menjadi pemuas dan penengah, dibutuhkan sosialisasi diri dengan cara bergaul membaur dan berinteraksi kepada mereka, yang salah satunya di dalam masjid.

*Sebagai sindiran diri

Minggu, November 20, 2011

Sesal Hari Ini Selang Sehari Ultah


                Selang sehari birthday, Sabtu 19 November menjadi hari yang berasa sesal setelah senyumku. Kenapa? Esok pagiku sudah dimulai dengan qodlo` subuh hingga berlanjut bermalas-malas nderes. Astagfirullahal’adzim... Jadwal rencana utamaku untuk berbanyak-banyak aktivitas nderes pada tiga hari libur terkendala di hari kedua. “Malas! telat melek yang berlanjut malas.” Sebetulnya masih ada waktu secukupnya buat itu, namun seperti yang aku katakan tadi, malas! efek telat bangun yang kemudian membuat aktivitas apapun tak jalan. Astaghfirullah...
                Sarapan, satu-satunya aktivitas yang tak terjangkit malas, berasa saja badan sehat semangat (aku rasa, sudah menjadi hal biasa dan umum demikian itu dilakukan publik). Namun, hal yang paling dan sangat memaleskan ialah mandi di hari libur, seperti itulah tingkah sifatku. Tapi tidak untuk pagi tadi, aku mandikan badan yang memang masih bau iler, terasa tak enak semua untuk diberangkatkan nonton futsal Ushuluddin. Hari ini Sego FC main, sayang untuk ditinggalkan mensupport temen-temen. Benar ternyata, tak rugi melihat mereka, sekor 8-1 mengawali senyum kemenangan melawan semester V. ”Keren!” koar-koar aku apresiasikan melihat kelincahan permainan mereka. Hingga berikutnya, pertandingan Sego FC musuh kakak kelas bertubuh gedhe semester... entahlah. Histeris aku menonton, tak cuma aku, temen-temen pula, sebab rivalnya cukup susah. Jingkrak-jingkrak kita berselebrasi memerhatikan gol apik cetakan mereka, jadilah 4-1 kemengan untuk masuk semi final.
                “Azam, bisa nganter kita, nggak?” aku sesali ini, kenapa aku mau saja dimintai nganter boncengkan temen perempuan. Ini melanggar prinsipku (bukan prinsip, aku lebih suka menyebut penjagaan diri) untuk menjaga kesucian (bukan kesucian, terlalu munafik istilahnya, mungkin lebih enaknya keadaan diri) dari batasan berhubungan perempuan. Aku tak mau ini, tapi kenapa tadi sikapku mengiyakan. Astaghfirullah... aku hanya inginkan perempuan yang spesial duduk di boncengan, yakni tak lain ialah kekasih halalku. Memang iya, sebelumnya juga pernah membocengkan untuk pertama kali, tapi ia perempuan spesial yang pernah singgahi hati. Tapi sebenarnya tetap saja aku menyesal pada akhir, karena ia bukan halal bagiku. Apalagi siang tadi selepas menonton futsal, ia sama sekali bukan perempuan yang speisial buatku. Astaghfirullah...
                Tak berhenti menyesal, berdalih grimis hujan, aku mampir ke kost temen perempuan. Sekedar cuap-cuap ngobrol dan mengganggu sikon keadaannya --yang memang kebetulan sedang asyik pacaran berduaan--, tapi bagaimanapun juga tidak bisa dianggap “sekedar”, ini tidak boleh, dan ini sedikit lebih menyeggol prinsipku untuk tidak bermain perempuan, yang ingin menjaga kesucian.
                Hujan belum mau mandeg, aku terpaksa hujan-hujan kedinginan karena tak ingin berlama-lama ewuh mengganggu temen perempuanku yang berpacaran. Setiba di pondok jam lima-an, aku baru mendirikan Ashar sehabis mendahulukan makan dan mampir main kost tadi. Astaghfirullah...
Aku kedinginan, terlelap...
                Melek terbangun ±18.19 WIB teringat tanggungan mengajar TPA. Aku keluar mengintip kelas, gelap, tak ada nyala lampu. Mesjidpun demikian, tak ada tampak kegiatan anak-anak TPA ngaji. Aku kembali menaruh tubuh, tak sadar kembali tertidur. Astaghfirullahal’adzim... Ampuni, Gusti. Keblablasan! Maghribku hilang. Aku terbangun lebih dari jam 8, tak cuma maghrib, lagi aku kehilangan waktu untuk nderes hafalan. Ya Allah... ampuni diri yang belum bisa pegang tanggungjawab.
Menyesal... banyak penyesalan sia-sia hari ini.

02.25, 20 Nov `11

Selasa, November 15, 2011

Briefing Civic Education Semester 1; Siap UTS

Civic education
            Pendidikan kewarganegaraan, secara substansi tidak hanya mendidik untuk menjadi warga yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetapi juga membangun kesiapan warga negara untuk menjadi warga dunia. Artinya, selain mengajari masyarakat untuk memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara, civic education juga memberi pendidikan tentang kewargaduniaan.
Identitas Nasional
            Identitas berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal. Lalu nasional menunjukkan kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat, cita-cita, tujuan serta ideologi bersama. Jadi, Identitas Nasional adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas suatu bangsa yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain.
            Indonesia mempunyai identitas nasional berupa pancasila, sebagai identitas fundamental yang merupakan falsafah bangsa. Sedang UUD 1945, lambang negara, bahasa Indonesia, dan lagu kebangsaan ialah identitas instrumental indonesia sebagai alat untuk menciptakan Indonesia yang dicita-citakan. Adapula Identitas religiusitas, yakni pluralistik Indonesia dalam agama dan kepercayaan; identitas sosiokultural, ialah pluralistik Indonesia dalam suku dan budaya; dan identitas alamiah, yaitu Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.
Nasionalisme
            Nasionalisme adalah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan kepada bangsa dan negara. Rasa nasionalisme dijadikan alat perjuangan bangsa. Nasionalisme yang diusung Soekarno adalah bersifat toleran, bercorak ketimuran, tak agresif, bukan berwatak chauvinisme dimana seseorang menganggap diri bangsanya ialah yang terbaik daripada yang lain. Nasionalisme, hendaknya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.
Negara
            Yang disebut negara ialah organisasi tertinggi kelompok masyarakat yang mempunyai tujuan dan cita bersatu, hidup di wilayah tertentu, dan memiliki pemerintahan. Tujuannya adalah menyelenggarakan ketertiban umum, kesejahteraan umum, dan memperluaskan kekuasaan. Terdapat lima teori terbentuknya sebuah negara, yaitu
O   Teori kontrak sosial. Negara dikatakan terbentuk atas kesepakatan dan berjanjian masyarakat.
O   Teori ketuhanan. Negara serta pemimpinnya dibentuk oleh Tuhan. Karena itu, pemimpin hanya bertanggung jawab terhadap Tuhan, bukan kepada siapapun.
O   Teori kekuatan. Negara ialah hasil bentukan penaklukan oleh kelompok kuat terhadap kelompok lemah.
O   Teori organis. Layaknya makhluk hidup, negara terbentuk dari organ-organ tulang yang berwujud kehidupan korporal, daging yang berwujud para individu masyarakat, kepala yang berwujud pemimpin, dan urat saraf yang tampak pada undang-undang negara.
O   Teori historis. Negara tidak dibuat, namun tumbuh secara evolusioner sesuai kebutuhan manusia.

            Dari segi wujudnya, negara dapat berbentuk kesatuan dan serikat/federasi. Gabungan antara negara-negara dimana masing-masing negara tersebut berdaulat dan merdeka ialah disebut negara serikat/federasi. Sedang negara kesatuan hanya berdiri dengan satu negara dimana model pemerintahannya ialah sentralisasi (terpusat) dan desentralisasi (bagian-bagian daerah dalam negara diberi wewenang mengatur wilayahnya).
            Dari segi jumlah pemimpin, adakalanya negara disebut monarki yang berkepimpinan satu orang, lalu oligarki oleh beberapa orang, dan demokrasi oleh rakyat yang memiliki kekuasaan tertinggi.
            Melihat hubungan negara dan agama, terdapat paham teokraki, sekulerisme, dan komunisme. Paham teokrasi menyatakan bahwa negara adalah menyatu dengan agama. Karena itu, tata kehidupan dan pemerintahan dijalankan atas firman-firman. Sedang sekularisme mengatakan bahwasannya norma hukum ditentukan atas kesepakatan, tidak berdasarkan agama ataupun firman, kendati norma bertentangan dengannya. Sementara komunisme berucap bila kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Agama hanyalah realisasi fantasi orang yang tertindas.

Ideologi
            Ideologi merupakan sekumpulan ide yang tersistem, sebagai asas tujuan, baik sosial, politik, ekonomi, hukum untuk kelangsungan hidup. Ideologi bisa berbentuk konvensi (tak tertulis) sebagaimana halnya norma nilai dalam masyarakat seperti etika etiket berjalan dan makan, dan konstitusi (tertulis) dimana di Indonesia berwujud pancasila dan UUD 1945.
            Ideologi yang bisa dikatakan sebagai cara pandang ideal bagi sekelompok masyarakat memiliki karakteristik, yaitu have power (mempunyai kekuatan untuk mengatur), guidance of evoluation (menuntun penilaian), guidance of action (petunjuk berprilaku), serta logis. Pemanfaatannya dengan menjadikan ideologi sebagai ide normatif, struktur logika internal, ide interaksi manusia, ide struktur organisasi, cara persuasif, dan tempat interaksi sosial.

What should be done?
            The character of being a good citizen is respect to law, to sosial, to the other, to goverment, and respect to velus.

Minggu, November 13, 2011

Berbagi Cerita Jogja

Berbagi Cerita Jogja
            Rasanya memang beruntung hidup di kota pelajar ini, terlebih karena tinggal di daerah desa padat tumbuhan yang membuat adem penduduknya. Serasa nyaman saja ditambah makanan yang relatif murah dibanding kota manapun, boleh dikatakan hanya perlu merogoh kocek Rp. 2.500 per nasi sayur untuk bisa makan kenyang. Mungkin kalau didengar, bagaimana bisa sekedar nasi sayur mengisi perut, apa nikmat? Loh, ini jogja, kota pelajar yang bukan saja terkenal dengan budayanya, namun living cost-pun dikenal relatif murah. Bermodal Rp. 2.500 --tidak lauk tambahan-- kita bisa mengambil nasi sebanyak mungkin, dapat memilih dan mencomot sayur sesuka hati, sekehendak hati, dan sebab ini tak tanggung-tanggung saya manfaatkan untuk menggoyang mulut serta mengenyangkan perut. Memang tidak seluruhnya warung disebut murah, tapi saya kira tidaklah jarang menemukan warung semurah itu di sudut-sudut desa dan kota jogja.
            Beromong suasana yang didapati di sini, saya cukup merasakan suasana yang saya inginkan, yaitu religiusitas dimana tampak pada pesantren. karena hidup saya yang terbiasa menjadi santri, yang kemudian membuat saya merasa lega dan nyaman hidup berpola sikap santri, situasi religius demikian inilah yang memang saya harapkan, baik mengaji, berbagi, kendati tak sepenuhnya corak watak pesantren sesuai kehendak hati.
            Tidak berhenti cukup di situ, sedikit melangkah keluar  dari desa yang kental dengan persawahan di sana-sini (saya menyukainya), keadaan kota yang memang kota terlihat sepanjang jalan. Hotel, Mall, hang out difasilitasi wifi, dan apapun sampai pada kampus dimana-mana yang baik dan maju, buku-buku yang tersebar murah, expo elektronik, pertunjukan budaya, workshop,  seminar, debat, perlombaan, dan sebagainya bukan cuma tak jarang ditemui, namun seringkali terdapati. Ini baik sebagai pendukung berstudi para pelajar, sebab semua yang dibutuhkan ada.
            Rasanya beruntung saja saya menikmatinya, mengingat bebas biaya kuliah dan cekokan uang jatah dari negara yang saya terima tiap bulan, bersyukur sekali menyadarinya. Tapi, apa betul saya memang bersyukur? Lantas, bagaimana dan seperti apa wujud dan ejawantah syukur yang terlakukan? Ini sesuatu yang sangat signifikan dipertanyakan.

Kamis, November 10, 2011

Briefing Ulumul Qur`an Semester 1; Siap UTS

Urgensi mempelajari Asbabun Nuzul
                Dikatakan, ada beberapa urgensi mempelajari asbabun nuzul, namun yang paling urgen dan utama ialah untuk membantu memahami dan menafsirkan teks al-Qur`an, sehingga suatu ayat dapat jelas diketahui bagaimana dan seperti apa maksudnya. Al-Qur`an yang kita tahu bahwa tulisan dan bahasanya simpel, perlu dan membutuhkan hal lain untuk mengetahui isi kandungan di dalamnya agar umat bisa lebih mudah mengerti hukum dan aturan dalam al-Qur`an untuk dijadikan sebagai pedomannya. Nah untuk itu, salah satu jalannya ialah melalui mempelajari asbabun nuzul yang dengan suatu hal (peristiwa atau pertanyaan) ayat al-Qur`an diturunkan.
Sebagai contoh pada surat Al-Lail ayat 17-21
Ayat tersebut diturunkan tatkala Abu Bakar memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa oleh pemiliknya karena membela agama Allah. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa itu, sebagai janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang menafkahkan hartanya di jalan Allah.
Surat An-Nur ayat 6-9
Diceritakan, Hilal bin Umayah mengadu kepada Rasulullah bahwa istrinya berbuat zina. Nabi meminta bukti kepadanya, atau kalau tidak, ia sendiri yang akan dicambuk. Hilal berkata: “Wahai Rasulullah, sekiranya salah satu dari kami melihat seorang laki-laki lain beserta istrinya, apakah ia harus mencari bukti lebih dahulu?” Nabi tetap meminta bukti atau ia sendiri yang akan dicambuk. Hilal berkata: “Demi dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesunguhnya akulah yang benar. Mudah-mudahan Allah menurunkan sesuatu yang melepaskanku dari hukuman cambuk.” Maka turunlah Jibral dan mewahyukan ayat tersebut pada Nabi sebagai bentuk penyelesaian masalah.
Surat Al-Baqarah 222
Dari Anas berkata. “Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka keluarlah dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Rasulullah ditanyai mengenai hal itu, maka Allah menurunkan ayat tersebut. Kemudian kata Rasulullah: “Bersama-samalah dengan mereka di rumah, dan berbuatlah segala sesuatu kecuali menggauli.”

Mengapa toh ada Nasakh MansukhI
                Melihat kondisi sosial masyarakat yang selalu berubah dan berkembang, perihal hukum tidaklah selalu tepat digunakan dalam suatu daerah. Ketentuan hukum yang pada masyarakat umum relevan diterapkan, kadang belum tentu bisa diterapkan di daerah masyarakat tertentu, karena mungkin kondisi struktur budaya yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Memandang lagi struktur budaya dan situasi kondisi masyarakat yang belum bisa langsung menerima secara langsung bila suatu ketetapan hukum, total harus dilaksanakan oleh masyarakat, perlu adanya sikap perlahan-lahan untuk menuntun mereka kepada hukum yang dapat diterima. Dari sini timbul lah Nasakh Mansukh hukum yang memang Allah lakukan sebagai bentuk rahmat-Nya. Dikatakan rahmat, sebab hikmah daripadanya ialah menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Jadi kembali ke pertanyaan, “mengapa ada nasakh mansukh dalam al-Qur’an”, karena Allah menghendaki kemashlahatan dan kemudahan bagi umat untuk melaksanakan suatu hukum mengingat hukum itu sendiri terasa berat dan terlalu membebankan untuk dikerjakan. Lihat contoh ayat di bawah ini.
...........................................
Surat Al-Anfal ayat 65-66 tersebut diterangkan bila Allah mewajibkan untuk berperang satu lawan sepuluh. Namun kaum muslimin merasa keberatan, sehingga Allah memberi keringanan kepada mereka, yakni satu banding dua.

Muhkam dan Mutasyabih
                Mengenai muhkam mutasyabih, sejalan pengertian yang dikemukakan Shubhi al-Shalih, jika muhkam ialah ayat-ayat yang jelas makna dan lafadznya yang diletakkan untuk suatu makna yang kuat dan cepat dipahami. Sementara mutasyabihat adalah ayat-ayat yang masih bersifat global (mujmal), sulit dipahami (musykil), dan memerlukan takwil. Jadi muhkam itu sudah jelas maknanya dan mudah diketahui maksudnya secara langsung tanpa memerlukan penjelasan lebih lanjut. Sedang mutasyabihat itu belum jelas diketahui maknanya karena memang makna ayatnya sulit dimengeri, dipahami dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Bahkan ayat mutasyabihat ada juga yang sama sekali tidak dimengerti maksud dan makna hakikinya, dan hanya Allah yang mengetahui. Berikut contohnya,
Muhkam
è Al-Fatihah ayat 1, 2, 4.
Dilihat dari segi makna, ketiga ayat tersebut sudah jelas maknanya, tak memerlukan penjelasan karena mudah dimengerti maksudnya.
Mutasyabihat
è Fawatihus Suwar
Ketersembunyian makna yang terkandung di dalam akhruful muqoththo’ah sebagaimana terdapat pada fawatihus suwar ini tidak bisa dimengerti maksudnya. Tidak ada yang mengetahui maksud dan hakikat maknanya kecuali Allah saja.
è Al-Rahman 27
Kemutasyabihan ayat itu terletak pada makna wajah Allah. Hal ini karena muncul kemusykilan terhadap dzat Allah yang mempunyai wajah.
è Al-Anbiya` 47
Melihat makna “timbangan” pada ayat tersebut terdapat kemusykilan bahwa bagaimana dan seperti apa timbangan yang tepat pada hari qiamat. Akal manusia tidak dapat menjangkau secara pasti maknanya.

Minggu, November 06, 2011

Ber-Adha di Kota Pelajar: Jogja

                Terhitung kali kedua aku beridul adha di luar kota asal. Pertama di kudus, lalu kali ini di kota belajarku, yogjayakarta. Bermula dari waktu libur kampus yang cuma tiga hari (sabtu, ahad, senin), yang kemudian lansung berlanjut Ujian Tengah Semester (UTS), rasanya terlalu singkat untuk dibuat mudik pulang kampung. Oleh karena itu, aku memilih untuk berdiam anteng di pondok saja to prepare the exam (sebenarnya, secara pribadi aku juga belum berkeinginan pulang). Namun tidak, ternyata bukan belajar bersiap buat UTS, malahan tersibukkan dengan macam kegiatan-kegiatan (ndak terlalu sibuk sih, cuma ikut berpartisipasi aja dengan acara).
                CSS MoRA, sebagai organisasi mahasiswa PBSB yang secara otomatis telah menjadikan aku bagian dari mereka, karena posisi diri ialah asuhan Kemenag, mengadakan pengajian dan takbir keliling di masjid desa Pandak (kalau tidak salah), daerah Bantul bersama masyarakat setempat. Oleh sebab aku bersama kawan-kawan ada motor, maka dianjurkan untuk ikut acara tersebut. Cukup jauh lah untuk sampai di desa pandak, butuh kurang lebih satu setengah jam menempuh kisaran 40 KM dari pondokku, Diponegoro, desa Sembego, Maguwoharjo, Depok, Sleman.
                Berangkat selepas Ashar, sampai lah setengah jam sebelum maghrib di sana. Tak terlalu lama buat nunggu maghrib. Datang, duduk, mendengar ceramah (separuh jalan), doa, lalu berbuka bersama (karena kebetulan berpuasa Arofah). Takbir bersama kakak-kakak mahasiswa antara magrib-isya`, dan keliling takbiran bareng adik-adik desa setempat.
                Alhamdulillah, acara dicukupkan jam 9 lebih sehabis berame-rame takbir keliling yang lumayan me-megel-kan kaki. Agaknya perut terasa berkencot-kencot (baca: ngelih atau laper) karena ini, bukan cuma aku, tapi mereka (teman) juga. Sebab itu, tak perlu berlama-lama, kita tancap gas. Namun malang yang tak bisa dihindari mampir pada ban motor. Di deket Benteng Kulon, Buhh! Ban meletus di tengah bersalip-salipan dengan mereka. Walhasil, tertinggal lah!. Cleret, ret, ret! 30 ribu uang keluar buat ganti ban. Tak apalah! (Allah masih sayang).
                “Temen-temen menunggu di alun-alun.” Syukur lah mereka baik, setia kawan, mau menunggu. Kita di alun-alun nyempetin nge-mie dan nge-bakso, karena –seperti telah dikatakan tadi- perut udah berkencot-kencot ria (lapar: bahasa ngapak). Ffhuich!
                Serampung ngelahab mangkuk, menunggang motor, roda baru menggelinding sebentar, hujan turun dan semakin deras, mengharuskan kita berteduh. Lumayan membosankan menanti mandeg-nya hujan, tak sabar, melihat keadaan yang tampak sedikit reda, memaksaku untuk ajak mereka menerjang hantaman hujan dan colekan hawa. Bbbrrr! Dingin. Basah kuyub (ndak terlalu sih) jadi resiko sampai di pondok. Tepat pukul 11, (kayak’e). Tak langsung bubuk, masih nyempetin takbiran hingga bertahan kurang dari dua jam.
                Keesokan hari, melek jam 05.39 (entah masih ada` atau qodlo`). Mandi terus ke masjid. Huh! nyesel juga beranjak terlebih dulu dari masjid. “Jika aja diem dulu di mesjid, dapet sarapan deh.” Dalam sikon perut lapar, ngiler melihat orang-orang di masjid disuguhi sarapan. “Astaghfirullahal’adzim, tamak!”
                Menonton 7 sapi dan 13 kambing buat qurban. Cukup banyak dibanding di mushola desaku (iya iya lah, mesjid dibandingin mushola, yah ndak setara). Aku miris tak tega memandang qurban disembelih, hanya ngumpet dari kerumunan. Kriiing... sms ngoceh, “Nie lgy ngapain?”. Weh weh weh... aku digodain adek-adek cewek. Entah siapa aku tak ngerti, tapi ku bisa menebak itu bocah TPA Al-Husna. Yah ndak apalah, toh udah jadi resiko orang cakep digodain. Hagagaga...
                Emang dasar nggak doyan makan daging, jangankan makan, megang aja jijay, jadi cuma bantu ngeliat aja. Tapi karena ewuh sama anak-anak pondok dan temen, ku bantu kipas-kipas aja untuk santapan sate mereka. Maksudnya, ikut andil ngipasi bakar sate tanpa memegang daging (karena jijik). Fuich!
                Ehm, tak disangka, seorang aku yang dari kecil (bahkan bayi) tak pernah megang dan makan daging, entah wedus, sapi, kebo, (bukan tak pernah sih, kalaupun pernah itu karna dipaksa dan terpaksa), tiba-tiba bisa nyomot ngelahab sate kambing hingga bernafsu. Masya Allah... sejarah seorang Azzam doyan daging telah tertulis. “Yah, syukur lah, kalo gini kan, besok-besok bisa bantu ngabisin sate-sate di rumah. Hagaga...”